Sebagian Cerita Pendek
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari6
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari6
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
Kau baru saja menyelesaikan cucian piringmu saat ponselmu
berkedip-kedip. Lelaki yang semalam menghabiskan beberapa hitungan jam dengan
terus menggamit telapak tanganmu itu mengirim pesan, di pagi buta.
“Temani aku jogging.”
Begitu katanya setelah kau mengabari kalau kelasmu dimulai agak siang hari ini.
“Hanya menemani, iya.” Kau mengulum gerutu saat ingat
puasamu. “Masih banyak pekerjaan yang butuh energi hari ini.”
“Jangan tidur.” Ledeknya soal kebiasaanmu.
“Aku bukan kamu.”
Kau memang lalu tidak kembali ke kasur hingga lelaki itu
mengangkutmu lagi dengan motornya menuju lapangan di pelataran kampusmu. Namun
selama satu jam ia berlari kecil, setiap ia melirikmu bersama hembus napasnya,
yang ia dapati adalah dirimu yang duduk di bagian berumput sambil membungkuk
dan terkantuk-kantuk.
“Sudah?” Kau menggosok mata dan wajah saat ia merangkulmu.
“Seseorang akan mengangkatmu sementara aku di sisi lain
lapangan ini.”
“Kamu bau.” Kau mengerutkan hidung saat ia menarikmu agar
bersandar padanya.
“Tidur sepuasmu sekarang.” Titahnya sambil menutup
penglihatanmu dengan handuk kecilnya yang masih kering dan beraroma sabun cuci.
Kau lalu mengerutkan bibir saat mendengarnya menenggak air
mineral lalu mendesahkan dahaganya dengan begitu nikmat. Ia tergelak saat kau
menjauhkan diri darinya lalu disusul lontaran handuk kecil beraroma sabun cuci
tadi tepat ke wajahnya yang berkilat peluh.
“Orang yang puasa selalu mendapat cobaan.”
“Bukannya bagus? Kamu akan dapat pahala karena aku.”
“Kamu berdosa.”
“Tuhan Maha Pengasih kan?”
Kau tersentak, menatap matanya yang memandang lembut. Kepalamu
mengangguk pelan, namun jantungmu berdegup kencang.
Dia tersenyum, “Aku yakin kita sependapat soal itu.”
“Agama-agama…” Kau menatap rumput yang menyusup di antara
kaki kalian berdua. “Dibangun atas cinta dan kasih sayang.”
“Karena Tuhan Maha Pengasih.” Dia mengulangi dengan intonasi
yang persis, tapi dengan mimik yang menyiratkan kepasrahan.
“Kamu benar.” Kau menggigit bibirmu sebelum tertatih-tatih
menatap wajahnya. “Kita memang sependapat soal itu.”
Dia tertawa lalu menarik lenganmu.
“Nanti siang aku pulang. Aku tidak tahu kapan kita bisa
begini lagi.”
Kau hanya terdiam saat dia melepas cincin perak dari jari
manismu lalu menerawang wajahmu yang tak berekspresi lewat lubangnya. “Entah
dengan siapapun akhirnya kamu akan menikmati
hari seperti ini lagi, mungkin bukan denganku, aku tidak akan mengampuni
siapapun yang berniat buruk ke kamu.”
Kau benar-benar menatap kosong saat dia tersenyum dan menarik
tanganmu lagi. “Jadi untuk menyelamatkan nyawa beberapa orang, tetaplah ulurkan
kerudungmu seperti sekarang. Atau lebih panjang, kalau kau mau.”
“Kalau saja semuanya lebih sederhana,” Kau merasakan irama
detakan baru di jantungmu, tepat saat kau membiarkannya memasangkan kembali
cincin itu ke jari manismu. Rasanya begitu asing, begitu aneh, begitu
menyakitkan. “Aku akan memastikan semuanya berjalan jauh lebih mudah.”
“Kita tidak boleh mendahului-Nya.” Ia menggamit lenganmu
begitu erat.
“Kita hanya manusia.” Kau mengangguk, berusaha tersenyum.
Sesak memancing air mata yang menghalangi pandang kalian,
satu sama lain.
Komentar
Posting Komentar
Thanks for reading! Waiting for your response