Cerita Bersambung
Bagian 1 dari 7
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari8
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
Bagian 1 dari 7
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari8
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
Aku ingat betul saat badanku berusaha merangkak keluar dari
runtuhan kota yang rata oleh api dan senjata berat. Musuh di belakang berteriak
kesenangan, tapi terdengar kesetanan untukku. Di kepalaku sekarang hanya wajah
Ibu yang kulihat terakhir kali saat mengantarku ke depan pintu rumah tahun
kemarin, sebelum menyerahkanku pada dua serdadu kerajaan yang menjemput dengan pucuk
senjata untuk kupeluk.
“Pulanglah dengan selamat.”
Ibu, tidak ada yang bisa menjamin itu di antara letusan
senapan.
“Kembalilah dengan utuh,”
Ibu, telinga kananku tinggal separuh.
“Atau setidaknya hidup-hidup.”
Bu, sepertinya semuanya akan lebih mudah kalau aku mati.
Ah, benar.
Kenapa aku harus berjuang?
Kota tempat tinggalku kemarin sudah diratakan juga.
Dan ibu masih di sana, menungguku,
walau sekarang hanya
sebagai ingatan
.
“Ibu melahirkanmu dalam wujud yang lengkap. Ibu tidak mau
menerimamu hanya dalam sebaris nama.”
Ibu masih menungguku?
Mungkin akan lebih menyenangkan kalau aku yang menyusul ibu.
Rasanya air mataku mendesak keluar.
Maaf, Bu, anak laki-lakimu ini terlalu cengeng.
Suara berisik tiba-tiba terdengar di dua arah, depan dan
belakangku, memutus keputusasaanku. Dari belakang, itu seperti prajurit musuh
yang menginspeksi mayat-mayat dan runtuh-runtuhan dengan ujung sepatu mereka. Dan
dari depan—
—tunggu dulu!
Entah energi apa yang merasukiku, sehingga tubuhku yang aku
yakini tulang-tulangnya sudah remuk dan otot-ototnya mulai kendor itu
menyelinap dengan cepat. Aku kagum pada diriku yang dalam sekejap berhasil
menahan gerakan seorang perempuan dengan tubuh gosong terbakar. Matanya menatap
nanar, sedikit mengerikan malah, tapi cara tangannya menggenggam jari-jariku (yang
syukurnya masih lengkap itu) membuatku lebih fokus kepada cara untuk membawa
kami berdua pergi sejauh mungkin dari daerah yang sudah dikuasai musuh.
“Kau prajurit kerajaan,” dia sepertinya mulai menangis saat
aku dengan susah payah menyeret tubuhku dengan dirinya di gendonganku. “Kalian
akan menyelamatkan kami, kan?”
Aku berhenti di balik sebuah pilar yang mulai bungkuk dan
retak. Sambil menahan sakit di setiap sel-sel tubuhku, aku menatap perempuan
yang tubuhnya merah dan kulitnya terkelupas dan terbakar itu. Rasanya sedikit
malu saat aku menyadari bahwa di balik seragam, penampilanku lebih pecundang
daripada perempuan itu.
Mungkin seharusnya aku memalsukan usiaku saat kerajaan meminta
tambahan prajurit.
Walaupun aku pasti akan mati karena serangan musuh kemarin,
setidaknya aku akan mati di toko roti warisan ayah, dan mungkin di dalam
pelukan ibu, bukannya di balik pilar menyedihkan sambil memeluk seorang asing
yang terlihat lebih menyedihkan lagi.
“Selamatkan aku.” Perempuan itu terus saja bicara, walau aku
yakin pasti menyakitkan untuk tenggorokannya. Tangannya benar-benar kasar dan
melepuh, mulai menarik seragamku yang tidak tampak utuh sama sekali.
“Aku sedang berusaha.” Aku memutar otak, berhitung dengan
keadaan.
“Kita harus pergi ke barat.”
“Diamlah.”
Aku setengah membentaknya, namun aku pula yang terdiam. Perempuan
itu bukannya bungkam, malah memamerkan barisan giginya tepat di depan wajahku.
“Percayalah padaku.”
Gigi taring kanan dan geraham depan kirinya dikikir
sedemikian rupa.
Tangan perempuan itu susah payah bergerak dalam suatu pola.
Aku menatapnya lekat.
“Kau mata-mata kerajaan.”
“Sepertinya sekarang aku harus mengakui alasan kenapa aku
meninggalkanmu dulu.” Dia menyeringai. Dengan wajah hampir hancur seperti itu,
dia terlihat mengerikan. Aku mendengus saat mengingat bagaimana manisnya
seringai itu akan terlihat kalau saja dia tunjukkan bertahun-tahun yang lalu.
Suara di belakang mulai reda. Aku menyandarkan tubuh
perempuan itu ke pilar lalu memeriksa luka-lukanya. “Kau yakin masih bisa
bertahan hidup besok?”
“Bagaimana denganmu?” dia menjawab dengan suara putus-putus,
lalu memaksakan tawa lirih. “Aku harus mencoba, ada banyak informasi penting di
kepalaku.”
Aku tidak terlalu mempedulikannya. Rasa sakit di seluruh
tubuhku tiba-tiba kembali saat aku merebahkan tubuh. Aku bahkan tidak yakin
bisa bertahan sampai besok.
“Tapi yang paling penting untuk kau ketahui adalah kerajaan
bersedia membiayai kehidupan keluargaku kalau aku menerima lamaran itu dan
masuk ke keluarga mereka untuk kepentingan kerajaan.”
“Aku tidak ingat apa-apa.”
“Tapi aku selalu mengingatmu.” Perempuan itu mendesahkan
napasnya pasrah.
“Kau sudah bicara terlalu banyak. Diamlah atau kau akan mati
karena menyiksa tubuhmu sendiri.”
“Setidaknya aku bersamamu.”
Aku memejamkan mata erat.
Ibu, apa artinya kalau aku masih mengenali perempuan ini,
yang menghancurkan separuh kehidupanku setelah membangunnya, walau wujudnya
sekarang nyaris tak berupa?
Ibu, katakanlah bahwa saat tenagaku secara ajaib tadi muncul,
itu karena rinduku pada sosokmu, bukan karena perempuan ini.
Ibu, kau ingat padanya?
Kau masih mengenalinya?
Aku melirik perempuan itu dengan ekor mataku. Dia sudah
terpejam, dengan napas yang begitu pelan dan bibir sesekali meringiskan sakit.
Iya, Bu.
Dia dulunya kekasihku;
Komentar
Posting Komentar
Thanks for reading! Waiting for your response