Langsung ke konten utama

Putri Tidur: Bisakah Kamu Menutup Pintu?

Cerita Bersambung
Bagian 6 dari 7
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari13
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018

Dia besar di tengah-tengah keluarga dengan latar belakang militer yang kental, maka aku tidak pernah sekalipun mendapatinya berbohong. Termasuk kali ini, ketika ia dapat dengan mudah menemukan cara untuk masuk ke dalam benteng utama, dan tersenyum bangga kepadaku seolah berkata, “Aku benar-benar mata-mata kerajaan.”

Mau tidak mau, aku harus mengakui kalau aku gemas melihatnya.
Ingin sekali aku berjalan sombong daripada menunduk-nunduk ketika kami melewati barisan pasukan republik dan berkata padanya, “Kau aman karenaku, ketahuilah dan berbahagialah.”

Kami dihentikan beberapa prajurit di dalam benteng, namun ia dengan cepat mengatasinya. Kami dipisahkan setelah itu, dan aku tidak berkata apa-apa saat dia sejenak berbalik dan melempar senyum padaku sebelum mengikuti beberapa prajurit lain ke suatu lorong yang luas. Sementara aku dikawal seorang prajurit yang tiba-tiba mendempetkan kepalanya dengan kepalaku setelah ia menggiringku ke lorong yang lebih sepi.

“Kau membawa kita ke dalam celaka.”
Aku mendengus saat melirik wajah prajurit itu. Aku mengenalinya sebagai seorang rekanku yang sedikit lebih senior di kelompok informan republik, dan aku secara pribadi tidak begitu menyenangi sifatnya.

“Aku juga berpikir kalau lebih baik aku mati sejak awal.”

Ia lalu mendorongku ke suatu celah di ujung lorong dengan mata berkilat marah. “Kau mungkin berpikir kalau tinggal di sudut penjara jauh lebih baik daripada harus diarak sebagai pengkhianat di sepanjang kerajaan menuju panggung pemancungan.”
“Aku tidak paham maksudmu.” Aku mendorongnya menjauh saat tubuhnya mulai menghalangi tanganku untuk bergerak meraih belatiku. “Pemimpin tidak melarangku untuk mengantarnya ke sini.”
Ia benar-benar menjauh sekarang, lalu menatapku lekat-lekat. “Aku tidak mengerti kenapa kau masih hidup.”

Ia lalu menyerahkanku pada prajurit lain tanpa berkata apa-apa lagi. Aku berpikir keras sepanjang jalan hingga sampai ke pusat medis. Perawat di sana menatapku heran setelah aku menyebut nomor urut dan nama pasukanku.

“Aku tahu aku semestinya tidak ada di sini sekarang.”
“Tidak, bukan itu maksudku.” Dia berdiri lalu memanggil seorang prajurit yang berjaga. Katanya pada prajurit itu, “Antarkan dia ke dapur samping.”

Aku dan prajurit itu menatap perawat itu dengan keheranan. Perawat itu mendengus lalu mengeluarkan selembar kertas dengan cap kerajaan yang tampak jelas di permukaannya.
“Jangan katakan keberatan kalian padaku, katakan pada Yang Mulia Selir.”

Kami berdua kemudian saling berpandangan, lalu berjalan beriringan dalam kebingungan. Aku tahu persis etika prajurit kerajaan, jadi aku langsung menjawab walaupun prajurit itu bertanya tanpa suara sedikit pun.
“Aku sama sekali tidak mengerti.”

Dia melirikku lalu sedikit mengedikkan bahu. Tapi sepertinya aku sudah mendapatkan jawabanku saat aroma tepung terigu menggelitik penciumanku. Aku tahu persis akan menemukan perempuan itu di depan panggangan, dengan adonan yang mulai mengembang. Tapi aku tidak menyangka dia menghadirkan senyum yang sama dengan yang ia hadirkan pertama kali mengucapkan perpisahan padaku itu.
“Tepat waktu.” Ia menyodorkan adonan itu padaku. “Ayo, aku sudah lapar.”

Aku menerima adonan itu lalu perlahan merapikannya sebisaku. “Kau berbohong soal suamimu.”
Dia menggeleng sambil sesekali mengomentari hasil gerakan tanganku. “Aku tidak menemukan dirimu yang dulu di manapun, bahkan di hadapanku. Jadi aku menyimpulkan kalau suamiku sudah mati.”

Aku mendengus sambil duduk di salah satu bangku. “Kau tahu, aku lebih suka tidak berada di sini sekarang.”
“Aku sering berpikir kalau mati di tangan orang yang mencintaimu itu romantis sekali.” Dia terkekeh sambil menunjuk tanganku yang mulai meraba belati di pinggang. “Tapi aku tidak suka kalau usahaku tidak berhasil.”

Aku tertegun dan tetap mengeluarkan belatiku dari sarungnya. Ia tersenyum lalu menggeser kursinya ke hadapanku.
“Aku tahu sejak awal tentang keluargamu, aku bahkan belajar memanggang roti di rumahmu untuk bisa mengawasi keluargamu. Kau mungkin tidak puas dengan informasi yang kuceritakan sepanjang perjalanan kita, jadi sekarang aku akan menceritakan segala-galanya padamu.”
Aku berdiri lalu menatapnya lama, tanganku menggenggam belatiku erat. “Aku lebih tidak suka melihatmu menderita, percayalah itu sangat menyakitkan.”

“Kamu bisa mencoba membahagiakanku jika raja terbunuh hari ini.” Dia melipat tangan di pangkuan. “Dia melarikan diri ke sini, pengecut ya?”

Aku mengerutkan alis saat dari luar sana terdengar gemuruh bersahut-sahutan. Aku tersentak lalu segera beranjak dari duduk untuk memeriksa keadaan di luar. Setiap pintu memuntahkan prajurit yang berlompatan dengan kaki berteriak garang.

Benteng akhirnya diserbu?

Bukankah kedatangan raja malah mengetatkan penjagaan?

“Tempat ini punya ventilasi yang bagus, tidak apa-apa kalau kamu menutup pintunya.” Perempuan itu mendekati panggangan. “Kamu tahu persis siapa yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu itu. Hei, jangan lupa rotinya.”
Aku mendecakkan lidah kesal. Ikut masuk ke pertempuran tanpa keberpihakan yang jelas akan sangat merugikan, apalagi tanpa senjata dan pengetahuan tentang strategi yang dijalankan. Aku menutup dan mengunci pintu dapur itu saat ia tersenyum dan menyiapkan alat makan sambil berkata,
“Ini bukan soal perebutan wilayah lagi, ini lebih dari itu. Ketahuilah, sekarang kita hanya bisa mempercayai satu sama lain.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Anti-Mainstream

 Pidato termasuk salah satu tugas di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Di sekolah, umumnya guru-guru menentukan tema pidato yang berkaitan dengan pendidikan, lingkungan, atau IPTEK. Tentu untuk tugas sekolah, kita lebih condong memilih tema Pendidikan. Tapi, pidato yang dibawakan hanya tentang itu-itu saja,alias mainstream , sekedar mengulas perkembangan pendidikan di Indonesia. Hm, bagaimana kalau kita mencoba membuat pidato yang anti-mainstream ??  Berburu Bocoran Soal Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu Pertama-tama marilah kita mengucapkan syukur kepada Allah SWT. karena atas izin-Nya kita dapat berkumpul kembali di kelas kita ini. Pada kesempatan ini, saya ingin membahas trending topic di kalangan para siswa tingkat akhir di setiap jenjang pendidikan. Yaitu, Ujian Nasional. Tetapi, saya bukannya ingin membahas tentang berbagai persiapan dalam menghadapi Ujian Nasional, melainkan tentang fenomena pemburuan bocoran-bocoran soal Ujian Nasional. ...

Bikini Atoll: The True Nuclear Battlefield

[disclaimer: the following article is a used assignment of mine on July 2020 under Aquatic Ecology course] DISASTROUS BATTLE BROUGHT TO THE ATOLLS The Republic of Marshall Islands is an America associated country which located in the central Pacific Ocean. It is spanning more than 5,025,000 km 2 , comprised of 1,225 islands and islets including 29 atolls and five solitary low coral islands. Most atolls of the Marshall Islands consist of an irregular shaped reef-rim with numerous islets encircling a lagoon with water depths that can reach 60 m. Prior to Western contact, people of Marshall Islands relied on fishing and tropical agriculture for subsistence.   (Beager et al., 2008). Meanwhile, the Northern edge of Marshall Islands is no longer known to be safe for human habitation. Located above the equator in Pacific Ocean, the ring of 23 islands surrounding a lagoon called Bikini Atoll. On February 1944, during the peak of World War II, Kwajalein Atoll in the southeast of Bikin...