Cerita Bersambung
Bagian 3 dari 7
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari10
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
Bagian 3 dari 7
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari10
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
Aku tidak tahu harus memilih apa: waktu, keselamatan, atau
makanan. Melewati jalur umum memang menghemat waktu, tapi akan sulit menemukan
sesuatu untuk dimakan dan akan rawan bertemu musuh atau terlibat dalam
penyerangan. Menembus hutan hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga.
“Tergantung peruntungan.” Dia mengambil napas panjang-panjang
saat aku mengajukan rencana perjalanan melalui desa-desa di pinggiran. Pertimbanganku,
kami bisa saja mendapat makanan dan pengobatan, atau mungkin sedikit
perlindungan, dari mereka. Lagipula setelah kupikir-pikir lagi, kami tidak
punya masalah apapun dengan waktu.
“Kalau kita sial, kita bisa bertemu atau diserahkan kepada
musuh. Kalaupun tidak, besar kemungkinan kita disangka pihak musuh. Pakaian
prajurit kerajaan bisa dipungut di mana pun sekarang ini.”
“Apa kau tidak tahu desa mana saja yang kira-kira masih loyal
pada kerajaan? Atau mungkin kau punya cara untuk tahu.”
“Aku bahkan tidak tahu kamu masih mengharapkanku atau tidak.”
“Kita bisa mati kapan saja.”
“Aku tidak akan menyangkal itu.”
Aku menatapnya lama. Apa-apaan dia malah berbicara begitu di
kondisi seperti ini?
Tunggu.
Kenapa aku kesal?
Apa aku ingin pulang ke barat?
Padahal, apa gunanya kalau aku sampai ke sana?
Perempuan itu duduk dengan posisi senyaman mungkin di akar
pohon, namun peluh yang sejak tadi menderasi pelipisnya tanpa henti menunjukkan
bagaimana dia berusaha melawan rasa sakit dari luka-lukanya yang sejak tadi
dibakar matahari.
Dia mungkin punya alasan kenapa bersikeras ke barat.
Dia mungkin masih punya alasan untuk hidup.
Mungkin dia punya sesuatu untuk disampaikan ke pusat militer.
Dan dia membutuhkanku untuk membantunya sampai ke sana.
Aku menatap wajahnya yang berbalut debu dan luka.
Aku akan membantunya.
Bukan karena alasan apapun.
Kecuali rasa kemanusiaan.
Aku mendesahkan napas lalu meraba tungkai dan bahuku. Tanpa banyak
berpikir lagi, aku bersusah payah menarik tubuhnya sambil berusaha tidak
menyakiti luka-lukanya. Entah ekspresi apa yang ia tunjukkan di wajahnya
sekarang ini, aku lebih fokus untuk berusaha memindahkan tubuhnya ke
punggungku.
“Aku tidak akan melawan.” Dia mendekatkan mulut ke telingaku.
“Katakan saja apa yang harus aku coba lakukan?”
“Naik ke punggungku, kau bisa?”
“Aku akan memelukmu, kamu mau?”
Sebelum dia berbicara lebih banyak lagi, aku sudah berhasil
mengangkat tubuhnya. Sambil tertatih menapaki jalan yang mulai mengeras, aku
menimbang arah terbaik untuk berjalan.
“Mana yang lebih kau prioritaskan? Waktu, keselamatan, atau
makanan?”
“Kamu.”
Komentar
Posting Komentar
Thanks for reading! Waiting for your response