Cerita Bersambung
Bagian 5 dari 7
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari12
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
Bagian 5 dari 7
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari12
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
Bukan sembarang orang yang bisa tinggal di wilayah sipil
barat. Padatnya kegiatan militer di sana membuat kehidupan masyarakat mau tak
mau harus lekat dengan kemiliteran walaupun tidak terlibat langsung dengan
kegiatan militer. Apalagi sejak wilayah barat ditetapkan sebagai pusat militer
kerajaan, banyak anggota militer yang memindahkan keluarga mereka ke wilayah
sipil barat. Sehingga mau tak mau, baik wilayah sipil pun merasakan pengaruh militer
yang keras di dalam masyarakatnya.
Dan itulah yang aku dan perempuan ini alami sejak kecil.
Aku mengenalnya sebagai putri kolonel, satu-satunya anak
perempuan di keluarga. Kami berada di sekolah yang sama dan ia seringkali
dikirim ke rumahku untuk belajar membuat roti dari ayahku.
“Apa kamu ingat? Dulu kita sering bilang, setelah menikah
kita akan membuka toko roti kita sendiri dan tidak akan membiarkan satu pun
generasi keluarga kita menjadi anggota militer.” Dia mengangkat kepala sambil
tersenyum. Terlihat menyeramkan sejujurnya, dengan perban melingkupi tubuhnya
persis mumi. “Tapi kita malah mengambil peran dalam perang. Hidup memang tidak
bisa ditebak, kan?”
Kami sudah lebih dari setengah perjalanan menuju wilayah
barat. Pemimpin meyakinkanku untuk melewati daerah desa-desa pinggiran dan
menjamin bahwa informan-informan republik yang tersebar di sana akan memastikan
kami tidak mendapat terlalu banyak masalah selama perjalanan.
“Aku bahkan tidak menyangka kau akan kembali.”
Ia mengangkat kedua alisnya. “Aku tidak salah dengar?”
Aku tidak menjawab lagi.
Aku harus bisa menggali banyak informasi darinya dengan
memancingnya dalam obrolan. Namun aku masih tidak bisa lupa bagaimana suatu
hari dia datang ke rumah dan menghabiskan waktu seharian berbicara tanpa henti
walaupun ia sudah menyelesaikan pelajaran memanggang rotinya. Aku masih ingat
betapa sempurnanya roti yang dia keluarkan dari panggangan dan dia berikan pada
ibuku sambil meminta penilaian.
“Di rumah suamimu,” aku tidak menghentikan langkah, namun
sedikit menunduk.
“Ibu, apakah rotiku sudah cocok
kuberikan untuk keluarga suamiku?”
“Aku tidak yakin membicarakan orang yang sudah meninggal itu
sikap yang baik.” Dia menghela napas lalu tersenyum tipis.
“Kalau kau lelaki, percayalah ini
adalah hadiah pernikahan terbaik.”
“Apa kau memanggang roti untuk keluarganya?”
“Syukurlah. Aku sudah gugup sekali
sejak kemarin.”
Dia menjajarkan langkah denganku lalu menatap wajahku
dekat-dekat. “Matahari tidak terlalu menyengat, kamu berhalusinasi karena apa? Kelelahan?
Apa aku harus menggendongmu?”
“Loh? Ibu tidak tahu kamu bisa gugup.
Ada apa?”
Bodoh sekali saat memakan roti dan mendengar percakapannya
dengan ibu, aku malah berpikir kalau ia memang bermaksud memanggang roti itu
hanya di dapur rumah keluargaku saja, untuk selamanya. Entah kenapa ada
perasaan tidak nyaman saat membayangkan roti sempurna yang ia persembahkan
untuk keluargaku itu ia panggang juga untuk keluarga lain.
“Besok aku akan dikirim ke ibukota
untuk menikah.”
Aku bisa melihat wilayah barat di kejauhan. Menara pusat
masih menjulang tinggi dan samar terlihat aktivitas di sekitarnya yang tidak
menurun walaupun bendera republik terlihat berkibar di sepanjang bagian luar
dinding benteng utama.
“Kita akan segera sampai, bergegaslah.” Aku mempercepat langkah,
memikirkan cara untuk masuk ke benteng utama tanpa perlu banyak berurusan
dengan pihak republik.
Aku memang bisa memastikan pihak republik takkan banyak
menyulitkan kami. Tapi jika hal itu terjadi, dia akan curiga. Bukan tidak
mungkin kalau selama ini semua kata-katanya hanyalah bualan dan dia langsung
menusukku dengan belatiku sendiri jika ia tahu aku mengkhianati kerajaan.
Bukan hanya aku malah, seluruh keluargaku.
Saat republik berpisah dari kerajaan, wilayah barat ditetapkan
sebagai milik republik. Di sanalah generasi keluargaku dimulai, sebagai warga
republik. Namun entah apa yang terjadi sehingga lama kelamaan kerajaan
mengambil alih wilayah barat. Warga dipersilahkan memilih untuk dipindahkan ke
wilayah lain republik atau menjadi warga kerajaan.
Republik masih merupakan negeri muda yang belum bisa banyak
menjamin warganya. Maka banyak yang memilih tinggal sebagai warga kerajaan di
wilayah barat. Namun sialnya wilayah barat yang bisa dikatakan merupakan daerah
pinggiran malah menjadi daerah yang tertinggal. Memang dimaksudkan sebagai
daerah militer karena medannya yang merupakan benteng alami, sumber daya
penduduk wilayah barat banyak dialihkan untuk kepentingan militer dan sisanya
terabaikan.
Warga yang tidak tertarik untuk terlibat operasi-operasi
militer dan memiliki cukup banyak usaha
dan uang segera saja pindah ke wilayah lain walaupun terancam banyak pembatasan
dan pembedaan bagi bekas warga republik. Sisanya tetap tinggal dan semakin lama
semakin ditekan untuk melibatkan diri dalam kegiatan militer. Ditambah kedatangan
keluarga dari para anggota militer, suasana kemiliteran semakin pekat karena
keluarga para anggota militer yang berasal dari wilayah-wilayah lain kerajaan
itu memiliki stigma buruk tentang bekas warga republik.
Maka bisa kalian tebak apa yang timbul dari ketidakpuasan
itu?
Mereka yang sempat merasakan manis dari hasil perjuangan
pelepasan diri republik dan menginginkan tanah mereka ikut merasakan manis itu
dengan kembali bergabung bersama republik. Apalagi dengan memanasnya hubungan
kerajaan dan republik karena sengketa wilayah utara yang kaya sumber daya
meletuskan perang.
Ibuku tahu aku diangkat menjadi informan menggantikan ayah
dan disusupkan ke pasukan kerajaan. Kelompok informan republik sempat
menawarkan ibu agar pindah ke wilayah yang lebih aman untuk sementara, tapi ibu
menolak tegas.
Ibu adalah cucu jenderal—kemiripan yang membuatku jatuh cinta
pada perempuan yang kini kembali berusaha menyusul jalanku. Maka saat ia
berkata akan tetap menjalankan tugasnya sebagai informan yang menetap di wilayah
barat, aku yakin hanya Tuhan yang bisa memaksanya pergi dari sana, itu pun
dengan mencabut nyawanya.
“Putraku sudah akan memulai jalannya
sendiri. Satu-satunya tempatku hanyalah wilayah ini dan suamiku, tapi suamiku
sudah pergi. Yang bisa kulakukan hanyalah tinggal di sini sampai aku harus ikut
menemaninya di sana.”
Pasti air mataku turun tanpa kontrolku karena membayangkan
wajah ibu saat menatap menara pusat, karena perempuan yang kini sudah
mencapaiku itu sekarang tiba-tiba menahan tanganku seerat yang ia bisa.
Sepertinya umumnya sepasang kekasih lain, ia (masih) bisa
membaca perasaanku. Ia mengunci pandanganku dengan matanya yang masih indah dan
syukurnya tidak terluka.
“Kau tidak bertanggung jawab atas kematian ibu, tapi tetap
harus membantuku memanggang roti sempurna itu untuk kedua kalinya.”
Aku membisu saat ia menggerakkan tanganku untuk menghapus air mataku.
"Untuk terakhir kalinya."
Komentar
Posting Komentar
Thanks for reading! Waiting for your response