Cerita Bersambung
Bagian 7 dari 7
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari14
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
Bagian 7 dari 7
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari14
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
“Saat aku bertemu denganmu lagi, kamu tidak tahu betapa aku
sangat bahagia. Apa yang ada di kepalaku adalah kita dianggap sudah mati lalu
kita bisa memulai semuanya dari awal. Kau tahu, naif sekali ya?
“Tapi di malam itu, tahukah kamu kalau pasukan republik
mendatangi kita? Mereka mengobati kita, seperlunya memang, tapi itu membuat
kita bertahan hidup. Kamu mungkin tidak sadar, tapi aku cuma pura-pura tidur,
seperti putri tidur di dongeng, tapi dengan wajah yang menggambarkan kekerasan,
bukan kedamaian. Walaupun aku tidak tahu kenapa mereka tidak membawa kita,
daripada membiarkan kita berkeliaran.”
Aku menelan potongan roti bagianku saat ia sudah menghabiskan
seperempat rotinya. Rasanya jelas berbeda dengan roti sempurnanya dulu—hebat,
aku masih ingat rasanya—tapi aku merasakan hal yang sama dengan dulu saat
memakannya.
Seperti kami akan berpisah lagi.
Di luar, serangan-serangan berbalas satu sama lain. Bersyukur
letak dapur ini ada di titik yang cukup aman dari serangan. Aku melirik
perempuan itu, sepertinya dia sudah merencanakan hal ini. Aku lalu menggulung
lengan bajuku hingga atas, melepas perban di sana, lalu menunjukkan lengan
atasku padanya.
“Mereka tahu aku tidak bisa membiarkanmu mati. Mereka menggurat
pesan agar aku pergi ke tempat pemimpin untuk melapor dan memanfaatkanmu selama
perjalanan.”
“Tapi kamu melakukannya untuk menyelamatkan nyawaku.” Ia
tersenyum lalu mengunyah roti dengan pelan. “Lalu kenapa kamu mau membunuhku?”
“Aku sempat berpikir seperti pikiran naifmu itu.” Aku
membuang muka. “Tapi kemudian aku melihat bagaimana kau tampak sangat teguh
dengan statusmu, aku hanya bisa melihatmu tidak menderita kalau kau mati.”
Dia tertawa persis saat sebuah ledakan besar mengguncangkan
meja kami. “Bukannya kamu mau membunuhku sebelum aku melaporkan semua informasi
yang aku punya pada kerajaan?”
Aku menatapnya kesal. “Jawaban apa yang kau inginkan dariku?”
“Kamu masih mengharapkanku.” Ia menatapku dalam. “Aku senang
kamu percaya padaku.”
Aku mendengus sambil melanjutkan makan. Ledakan, tembakan,
teriakan, dan derap kaki di luar sana hanya mengirimkan panas ke dalam ruangan
ini, ditambah debu, asap, dan beberapa guncangan. Tanpa sadar bibirku
tersenyum, inikah yang kami dambakan dulu? Duduk bersama menyantap roti buatan
sendiri tanpa terpengaruh operasi militer.
“Setelah semuanya, entah siapa yang akan menang,” Aku
menatapnya yang masih mengunyah roti dengan penuh kenikmatan. Sebelum kami
dipisahkan di awal kedatangan kami ke dalam benteng, dia sempat berbisik cepat
di telingaku dan berkata kalau dia menganggap hal-hal yang dilihatnya di desa
milik pemimpinku sebagai hal yang wajar di tengah peperangan sehingga menjadi
hal yang tidak perlu dilaporkan. Di sana memang beberapa kali dilakukan
latihan-latihan militer kecil dan beberapa orang membicarakan strategi perang
sebagai obrolan. “Apa yang akan kamu lakukan?”
“Jujur saja, kamu juga tahu kan kalau kemungkinan republik
untuk menang sangat kecil? Ayolah, aku yakin walaupun berada di pihak yang
berbeda, kita punya data yang sama soal perang ini. Mengorbankan wilayah sipil
adalah aib terakhir bagi kerajaan sebelum akhirnya akan benar-benar menelan republik.
Aku yakin kita punya analisa yang sama.”
Aku tidak menjawab. Aku sudah menyadari hal itu belakangan,
begitu pula pemimpin. Tapi kami hanyalah informan, tidak punya hak maupun cara
untuk membuat keputusan. Kata pemimpin saat aku mendesaknya, “Coba pikirkan
sesuatu dengan cepat. Kalau idemu bagus, aku akan mempertimbangkan untuk
mendesak mereka yang di atas.”
“Tapi kalau memang republik yang menang dan raja dipenggal,
aku menyerahkan semua padamu. Itu berarti titik penentu rencanaku sudah hancur,
aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
Aku tahu senyumnya itu begitu pahit.
Aku tahu kami tidak akan bisa bersama, siapapun yang menang.
“Memang sejak awal, kita harus saling merelakan.”
Itu kata-kata terakhir yang kudengar dari mulutnya. Tepat setelah
kami menandaskan piring, sebuah ledakan besar mengguncangkan langit-langit
dengan hebatnya. Aku menariknya keluar, lalu kami disambut berbagai ledakan
beruntun yang menggugurkan pendengaran berikut kesadaran kami.
Aku selanjutnya tersentak dari ketidaksadaran, entah berapa
lama sejak penyerangan itu. Aku cukup terkejut karena terbangun di barak
militer kerajaan, bukannya di penjara. Para prajurit yang mengenalku
berkali-kali mengucapkan ketidakpercayaan mereka kalau aku masih hidup. Aku membalas
mereka dengan ucapan yang sama karena beberapa hari kemudian aku melihat
beberapa rekan informanku yang menyusup di tubuh kerajaan digiring keluar dari
penjara, sepertinya akan dihukum pancung di ibukota.
Aku tidak tahu bagaimana nasib pemimpin ataupun orang-orang
republik lainnya. Satu-satunya orang yang aku tahu persis nasibnya adalah
perempuan itu.Dia sudah tampak lebih baik, luka-lukanya mulai samar bersama
cahaya wajahnya. Aku berkali-kali melihatnya tersenyum di sebelah raja saat
mengunjungi barak militer. Berkali-kali pula aku mencoba mendekatinya, tapi ia
selalu menghindar dan seperti menganggapku angin lalu, walaupun saat tidak
bersama raja.
Hingga akhirnya aku berhasil memojokkannya, menatap matanya
dengan penuh amarah.
“Kau bisa saja pergi, menyatakan kematianmu. Tapi kenapa kau
kembali ke istana? Aku tahu kau lebih suka tidur di atas jerami daripada
tenggelam oleh bulu angsa. Tidak,” Aku mencengkeram pundaknya dengan jari-jari
bergetar. “KENAPA KAU MENGGADAIKAN KEBEBASANMU DENGAN IDENTITASKU!?”
“Buang belatimu.” Dia menatap datar, kosong. “Kalau kamu mau
aku bicara.”
Aku mengeluarkan belatiku dengan tangan bergetar,
menjatuhkannya sambil bernapas putus-putus. “Kalau kau mendengar ada
pemberontakan dari prajurit, percayalah itu tidak ada hubungannya dengan
republik.” Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat.
Seniorku—yang mungkin sudah dipenggal kepalanya itu—memang benar.
Sangat mengherankan kenapa seorang pengecut sepertiku masih bertahan hidup.
“Pemberontakan militer
karena ingin merebut selir raja adalah hal paling konyol yang bisa direncanakan
manusia berotak.” Dia menggenggam tanganku dengan tangan masih berbalut perban,
memeluk telapak tanganku dalam genggamannya. Tidak ada senyum ataupun peluh
gugup di wajahnya. “Aku sudah berusaha menjagamu tetap hidup, tolong hargai
itu.”
"Aku sudah puas menjadi pengecut." Tapi, air mata. "Tolong hargai itu juga."
“Kamu selalu ada di mimpiku. Itu sudah lebih dari cukup.”
Komentar
Posting Komentar
Thanks for reading! Waiting for your response