Cerita Bersambung
Bagian 4 dari 7
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari11
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
Bagian 4 dari 7
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari11
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
“!”
Punggungku tegak mendadak, mataku awas bergulir.
Tubuhku rebah di ranjang kayu, sendiri di tengah sebuah ruang
temaram.
Di mana dia?
Ah.
Di mana aku?
“Kau harus punya penjelasan yang masuk akal.” Seseorang
tiba-tiba mendekatiku. Aku memperbaiki posisiku sesegera mungkin saat menatap
wajahnya. “Apakah keyakinanku bahwa kau memahami sepenuhnya perintah terakhir
itu keliru?”
“Aku tidak bisa hanya melihat orang sekarat di depanku.”
Orang itu tegap tepat di pinggir ranjangku. “Apa yang kau
rencanakan?”
Aku meremas jari-jariku kuat. “Di mana dia sekarang?”
“Tergantung jawabanmu.”
Aku menghela napasku yang sedari tadi tertahan. Mataku lalu
beralih serius, menatap mata tajam pria yang sedari tadi sepertinya mengamati kondisiku.
“Aku bisa menahan diri untuk tidak mencegah kematian
mengunjungi ibuku.” Aku memejamkan mata sambil menahan buncah emosi dari seisi
batinku. “Membunuh perempuan itu bukan masalah besar.”
Aku mengatakan ini bukan karena kesal, percayalah perasaanku
tertikam. Saat wilayah sipil barat diserang, aku sudah tahu itu akan terjadi
dan aku bisa saja memperingatkan ibuku agar dia pergi dari sana sebelum itu
terjadi. Karena walaupun memakai seragam prajurit kerajaan, aku sesungguhnya
menggantikan posisi mendiang ayahku, informan untuk pihak republik, musuh
kerajaan. Dan pria di depanku ini adalah pemimpin pergerakan informan di sektor ini.
“Dan jika kau mati sebelum dia?”
Aku menatap pria itu tajam, sesungguhnya karena terkejut.
“Aku sudah mendapatkan jawabanku.”
Aku segera turun dari ranjang, menarik kemeja yang tersampir
di dekatku, lalu mengikuti pria itu keluar ruangan. Kami keluar dari sebuah
bangunan serupa gubuk dan disambut hening malam. Ada banyak bangunan sederhana
lain di luar yang menyala samar cahaya dari mereka.
Kami berjalan bersisian dengan rumah-rumah, masuk ke sebuah
bangunan yang ukurannya lebih besar dari bangunan lain. Orang-orang masih sibuk
di dalam sana, tapi mereka langsung membungkuk saat pria ini masuk, termasuk
orang-orang yang kuyakini tidak berafiliasi dengan pihak republik sama sekali. Di
sisi bangunan itu terdapat undakan-undakan lebar yang memanjang, dengan
orang-orang terbaring lemah di atasnya. Pria itu berjalan ke salah satunya lalu
membiarkanku mendului saat aku mengenali wajah terbakar seorang perempuan di
sana.
“Kamu masih bisa berjalan.” Matanya terbelalak lalu cepat-cepat
mengangguk pada pemimpinku dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. “Kepala
desa menemukan kita tak bergerak lalu membawa kita ke sini.”
Aku melirik pria itu yang menampakkan wajah lembut khas kakek
bijak di dongeng anak perempuan.
Aku tersenyum sedikit lalu mengiyakan kata-katanya.
Perempuan ini tak lama pingsan setelah kugendong kemarin. Satu-satunya
pilihanku adalah mengadu peruntungan di desa yang dipimpin pria ini. Tapi aku
pasti kehabisan tenaga dan kesadaran di tengah perjalanan. Untung saja pihak
pria ini yang menemukan kami. Pasukan republik biasa takkan mengenali
keberpihakanku dan mungkin akan langsung menghabisi kami.
“Kalian hebat sekali. Dengan luka seperti itu, aku yakin
orang-orang biasanya tidak tertarik mendorong tubuh mereka mendekati batas yang
rawan.” Pria itu mengangguk, sepertinya benar-benar memujiku. “Kalian mau pergi
ke mana?”
“Barat.” Dia menjawab cepat. Keningku sedikit berkerut. “Kami
akan kawin lari.”
Pria itu tergelak—sebenarnya lebih karena ekspresiku yang
mengerikan. “Di tengah perang, Nak? Dengan keadaan seperti itu? Darah muda
memang selalu bergejolak.”
Dia tersenyum sambil memandangku yang segera membuang wajah. “Cinta
selalu penuh rahasia.”
Komentar
Posting Komentar
Thanks for reading! Waiting for your response