Sebagian Cerita Pendek
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari2
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
Bagaimana rasanya bangun pagi buta tanpa seseorang pun
memanggil namamu sambil mengetuk pintu?—walaupun kau sempat mendengar
samar-samar ketukan di jendela yang lenyap bersama gesek angin dan daun pohon di
dekat pagar depan. Abaikan saja, setidaknya begitu kata ibu dulu jika kau
mengadu.
Lalu duduk menghadapi makanan dengan tayangan televisi yang
menyaksikanmu mengunyah tanpa banyak komentar—kau memasaknya sendiri, maka
mencela rasanya yang buruk hanya akan berguna kalau kau mau sedikit lebih
cermat saat menggumamkan ulang resep yang kau comot tanpa peduli apapun dari
internet. Telan saja, selalu begitu kata ayah dulu jika kau menelan dengan
wajah terlipat-lipat.
“Biasa saja.” Kau menjawab bisikan dari dalam kepalamu itu
dengan nada yang sedikit menantang. “Terkadang hari-hari seperti ini terjadi di
rumah, beberapa kali.”
“Menyedihkan.” Ujar suara di dalam kepalamu itu saat kau
menumpuk piring dan sendokmu yang telah tandas di atas panci dan kuali yang
masih berlumur minyak. “Bagaimana dengan rasanya saat kau menahan air liurmu
sendiri saat menyiapkan makanan kala petang? Kemudian setelah segelas teh dan
tiga potong makanan ringan kau singgahkan di lambung, kau pergi dan
menghabiskan waktu dengan bersisian dengan orang-orang yang berbeda setiap
malam. Tanpa seorang pun, bahkan dirimu, yang punya keinginan untuk bertukar
percakapan.”
“Hal seperti itu lebih sering terjadi daripada yang kau
ocehkan sebelumnya.” Kau sudah kembali ke kasur, menatap langit-langit kamar. “Tahun
lalu mungkin aku merasa sangat sedih karena mengalami hal-hal itu. Tapi malam
ini aku senang karena sudah tahu betapa lebih bergunanya untuk menikmati
saat-saat seperti itu daripada harus merundungi nasib.”
Suara di dalam kepalamu tadi terdengar sedikit lebih pasrah
kemudian. “Kau benar. Dengan begitu kau tidak merasa kehilangan sebanyak
orang-orang lain. Orang tuamu punya cara yang benar-benar tidak terduga untuk
mempersiapkanmu.”
Kau mengangguk, beranjak dari kasur saat seru-seruan merayap
bersama datang fajar. “Tapi aku tetap merindukan mereka.”
“Kau memang sudah akan pulang dan bertemu orang tuamu.” Suara
di dalam kepalamu itu sepertinya sedang melambaikan tangan—memangnya dia punya
tangan? “Sampai jumpa setelah kau bertemu dengan penasihat pribadi, maksudku
kekasihmu, yang akan kau temui nanti malam.” Tutupnya dengan setengah menggoda,
saat kau tengah berdiri bisu dengan sebentang sajadah selurus tubuhmu.
Memang, sepanjang tadi, laki-laki yang kemarin membantumu
memilih kerudung itu berusaha terjaga untuk menyampaikan padamu betapa dia
tidak sabar dan sedikit gugup untuk kembali bertemu denganmu—padahal kau sudah
berulang kali menjelaskan padanya betapa kau jauh lebih gugup darinya.
Oh ya, sedikit sesak juga menumbuk benakmu saat nada
panggilan yang kau atur khusus untuk laki-laki itu berdering tepat saat kening,
pucuk hidung, dan kedua telapak tanganmu menempel bersama sujudmu.
“Kau tidak pernah menyangka akan mengalami hal seperti ini,
kan?” suara di dalam kepalamu itu sepertinya harus diberi sedikit pelajaran
agar tingkahnya tidak menjadi-jadi;
Komentar
Posting Komentar
Thanks for reading! Waiting for your response