Seiris Kisah
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari22
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
"Peri-peri tinggal di balik bunga," begitu celotehnya setiap sore kalau kami sempat berjalan-jalan. "Dan para kurcaci duduk di bawah sana, menjaga agar tangkainya tidak roboh."
Aku mengangguk--itu hal terbaik yang bisa kulakukan. "Lalu?"
"Lalu," ia berpikir-pikir, sepertinya sadar kalau ia sudah mengulangi cerita serupa berkali-kali. "Lalu suatu hari ada peri yang jatuh ke bawah saat seorang kurcaci jahil memanjat ke atas."
Aku terdiam, seperti menunggu walaupun aku sudah tahu penghabisan kisah itu. "Ya..."
"Ah, sudahlah!" Ia memalingkan wajah sambil memberengut. Aku keheranan, tapi memaksa senyum dan memberi tatapan penuh tanda tanya padanya. "Aku sudah menceritakan ini padamu berkali-kali, kenapa tidak bilang saja kalau bosan?"
Aku termangu, untuk pertama kalinya benar-benar membayangkan keberadaan peri-peri dan kurcaci-kurcaci itu. Bayangkan saja, di atas salah satu bunga, seorang peri yang penasaran melongok ke bawah, bersamaan dengan seorang kurcaci yang ingin tahu sedang memanjat tangkai bunga. Karena terlalu berat dan nasib, peri itu terjun ke bawah bersamaan kurcaci yang berhasil mencapai puncak bunga.
"Bagaimana aku bisa bosan," aku menatap matanya lekat. "Kalau ceritamu selalu berhenti di situ? Apa yang terjadi selanjutnya?"
Dia terdiam, sepertinya berpikir-pikir sejenak. "Menurutmu?"
"Kalau peri itu punya sayap," aku menerawang awan. "Sayapnya patah."
"Apa dia akan menyalahkan kurcaci yang memanjat itu?"
Aku terdiam bersama langkahnya yang terhenti. Dari balik pundaknya, aku bisa melihat pandangannya yang tertuju pada kursi rodaku di ujung jalan. "Mungkin,"
Dia menghela napas, menolehkan wajah ke belakang untuk menatapku setelah memperbaiki posisi tangannya yang mengapit kakiku yang berperban. "Aku..."
"Tapi itu tidak ada gunanya. Karena semestinya, cepat atau lambat, bunga itu akan merunduk sendiri karena berat dan peri itu akan tetap jatuh." Aku mengeratkan pelukanku di pundaknya lalu menempelkan dagu di perpotongan lehernya. "Lagipula dia takkan bisa membenci kurcaci yang segera meluncur turun untuk mengusahakannya naik lagi setelah susah payah memanjat itu, kan?"
Ia masih menoleh padaku, namun sekarang tersenyum. Aku membalas dengan hal yang sama, ditambah satu kecupan di pipinya yang segera memerah.
"Tapi jika kecelakaan itu tidak terjadi, bagaimana peri dan kurcaci itu bisa bertemu?" tanyaku setelah ia mendudukkanku di atas kursi roda.
"Masih karena hal yang sama," Ia berlutut menghadapiku lalu meraih tanganku dan menarikan telunjuknya di telapak tanganku lalu menariknya untuk mencium punggung tanganku. "Takdir."
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari22
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
"Peri-peri tinggal di balik bunga," begitu celotehnya setiap sore kalau kami sempat berjalan-jalan. "Dan para kurcaci duduk di bawah sana, menjaga agar tangkainya tidak roboh."
Aku mengangguk--itu hal terbaik yang bisa kulakukan. "Lalu?"
"Lalu," ia berpikir-pikir, sepertinya sadar kalau ia sudah mengulangi cerita serupa berkali-kali. "Lalu suatu hari ada peri yang jatuh ke bawah saat seorang kurcaci jahil memanjat ke atas."
Aku terdiam, seperti menunggu walaupun aku sudah tahu penghabisan kisah itu. "Ya..."
"Ah, sudahlah!" Ia memalingkan wajah sambil memberengut. Aku keheranan, tapi memaksa senyum dan memberi tatapan penuh tanda tanya padanya. "Aku sudah menceritakan ini padamu berkali-kali, kenapa tidak bilang saja kalau bosan?"
Aku termangu, untuk pertama kalinya benar-benar membayangkan keberadaan peri-peri dan kurcaci-kurcaci itu. Bayangkan saja, di atas salah satu bunga, seorang peri yang penasaran melongok ke bawah, bersamaan dengan seorang kurcaci yang ingin tahu sedang memanjat tangkai bunga. Karena terlalu berat dan nasib, peri itu terjun ke bawah bersamaan kurcaci yang berhasil mencapai puncak bunga.
"Bagaimana aku bisa bosan," aku menatap matanya lekat. "Kalau ceritamu selalu berhenti di situ? Apa yang terjadi selanjutnya?"
Dia terdiam, sepertinya berpikir-pikir sejenak. "Menurutmu?"
"Kalau peri itu punya sayap," aku menerawang awan. "Sayapnya patah."
"Apa dia akan menyalahkan kurcaci yang memanjat itu?"
Aku terdiam bersama langkahnya yang terhenti. Dari balik pundaknya, aku bisa melihat pandangannya yang tertuju pada kursi rodaku di ujung jalan. "Mungkin,"
Dia menghela napas, menolehkan wajah ke belakang untuk menatapku setelah memperbaiki posisi tangannya yang mengapit kakiku yang berperban. "Aku..."
"Tapi itu tidak ada gunanya. Karena semestinya, cepat atau lambat, bunga itu akan merunduk sendiri karena berat dan peri itu akan tetap jatuh." Aku mengeratkan pelukanku di pundaknya lalu menempelkan dagu di perpotongan lehernya. "Lagipula dia takkan bisa membenci kurcaci yang segera meluncur turun untuk mengusahakannya naik lagi setelah susah payah memanjat itu, kan?"
Ia masih menoleh padaku, namun sekarang tersenyum. Aku membalas dengan hal yang sama, ditambah satu kecupan di pipinya yang segera memerah.
"Tapi jika kecelakaan itu tidak terjadi, bagaimana peri dan kurcaci itu bisa bertemu?" tanyaku setelah ia mendudukkanku di atas kursi roda.
"Masih karena hal yang sama," Ia berlutut menghadapiku lalu meraih tanganku dan menarikan telunjuknya di telapak tanganku lalu menariknya untuk mencium punggung tanganku. "Takdir."
Komentar
Posting Komentar
Thanks for reading! Waiting for your response