Sepotong Cerita
Untuk #Challenge30HariSAPE_hari21
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
Untuk #Challenge30HariSAPE_hari21
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
“Hidup tidak selunak bubur bayi.”
“Depresi tidak sebercanda itu.”
“Baiklah.” Sekilas penyesalan terlukis di sorot matanya yang
sarat kekesalan. “Hanya, why so easily
give up? Kenapa menyerah begitu mudah? Aku pernah mengalami hal yang sama,
berkali-kali malah. Tapi kau bisa lihat aku masih menjejakkan napas di sini.”
“Tiap orang itu beda-beda.” Aku menerawang mendung yang
menggantung. “Mungkin, karena dia tidak punya back up.”
“Dia anak yang cerdas, aku yakin dia bisa mencari back up plan yang lebih, yah, kau
tahulah.”
“Maksudku bukan back up
plan.” Aku mendesahkan napas sambil meraba gumpalan gelap di atas sana
dengan tatapan kosong. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku beranjak meninggalkannya
yang masih terus menerus mendecakkan lidah.
Aku masuk ke kamar rawat. Adik kami yang paling kecil
telentang di ranjang, mata menatap langit-langit putih. Ibu ada di sebelahnya,
mencoba memancing perhatian atau setidaknya mengisi tatapan kosongnya itu. Melihat
kedatanganku, anak laki-laki terbesarnya, ibu segera beranjak dari duduk dan
tersenyum. Aku menatap adikku lekat-lekat saat ibu tiba-tiba saja sudah menghamburkan
isak di dalam pelukanku.
“Apapun yang dikatakan kakak di luar, jangan pedulikan.” Aku
mencium kepala ibu, mengantarnya ke pintu. “Dia hanya ketakutan, ibu juga.”
Ibu mengangguk, mengusap air matanya lalu meninggalkanku
bersama adik. Dia juga tidak peduli pada keberadaanku, hanya memejamkan mata
saat aku mendekatinya. “Hei.”
Dia masih terpejam, tapi aku melihat bibirnya bergerak.
“Tidak ada yang bisa disalahkan. Perasaan memang merepotkan.”
Aku menarik kursi, duduk di sebelah ranjangnya. “Tidak ada gunanya memang, tapi
belum terlambat selama kau masih ada di sini, aku mau minta maaf.”
“Buka matamu, aku
harus menunjukkan sesuatu.” Aku mengelus pipinya. “Tolong.”
Ia membuka mata lalu melirikku dengan sudut mata. Namun lirikan
itu melebar saat aku selesai menggulung lengan kemejaku dan melonggarkan
kancing kerahku. “Aku tidak mau minta maaf karena tidak memperhatikanmu, tapi
karena tidak memberitahumu. Padahal kau anak yang paling cerdas di rumah.”
“Kak…” Aku tersenyum tipis saat mendengar suaranya. Aku membantunya
duduk lalu membiarkannya menyentuh kulitku. Pergelangan tanganku bersayat
merah, walaupun sudah mulai terbenam oleh lapisan kulit baru. Leherku berkalung
memar dan jejak cengkeraman, memberi bercak merah yang sudah tidak begitu
kentara.
“Satu lagi.” Aku mengarahkan dagunya menghadap sudut ruangan.
“Dia iri padamu, pada kita.”
Adikku mengernyitkan kening. “Siapa?”
Aku tersenyum.
Adikku terbelalak, segera menolehi diriku yang kembali
memanjangkan lengan kemeja dan mengeratkan kerah. Aku berdiri, membuka jendela
dan membiarkan aroma petrichor menggodai
kamar rawat ini. Tak lama aku kembali duduk, namun kini tepat di tepi kasurnya.
“Aku sedikit pengecut, memilih obat agar aku tidak tersiksa.”
Aku menghela napas, menikmati udara yang mengalir keluar dari dada. “Aku pasti
tidak ada di sini kalau dia tidak muncul dan membuatku menjatuhkan semua obat
itu.”
Adikku menatap penuh perhatian, membantuku menggali ingatan
pahit yang terasa manis itu. “Dia tidak terlalu buruk. Hanya wajahnya yang
terlalu pucat sampai bekas cekikan di lehernya benar-benar tampak dan seperti
menjepit lehernya. Sepertinya perempuan, dengan tatapan marah yang membuatku
dingin luar dalam. Kau pasti tahu kalau aku dalam keadaan terbawah seperti itu
tidak peduli terhadap apapun.
“Tapi dia bukan hanya mendampratku dan mengataiku pecundang,
dia juga menyerangku, mencekikku keras sampai aku tidak bisa merasakan leherku
lagi. Ingat saat aku bilang kalau aku jatuh karena futsal? Yang sebenarnya
adalah dia membantingku begitu keras sampai aku tidak bisa bergerak. Setelah itu
barulah aku sadar kalau aku dihajar hantu. Seluruh tubuhku membeku, aku
ketakutan.
“Wajahnya begitu dekat dengan wajahku dan terlihat sangat
mengerikan saat petir tiba-tiba membelah langit. Tapi, kau tahu, hujan
tiba-tiba turun dengan derasnya, seperti darah yang mengalir dari sudut
matanya. Walaupun merah kental dan menakutkan, tapi entah kenapa aku merasa
begitu kacau saat melihat senyum di bibirnya yang menghitam itu. Seperti sedih,
bersalah, menyesal, takut, entahlah.”
Aku menarik napas dalam-dalam, menikmati aroma hujan yang
semakin lama semakin samar. Tangan adikku sudah berpindah menggenggam tanganku,
dan dia juga mulai menangis. “Maaf karena aku tidak memperhatikan kakak. Padahal, padahal,
kakak punya tugas yang berat di keluarga kita sejak ayah…”
“Ssst.” Aku merangkul adikku sambil tersenyum. “Jangan
menangis dulu, ceritaku belum selesai.” Aku mengusap air mata di pipinya. “Hujan
waktu itu tidak lama, hanya hujan lewat sekejap. Dan saat lebat berganti gerimis,
dia lenyap setelah berbisik,
kematian tidak seenteng yang kau
pikirkan, jangan melecehkan kematian dengan mengundangnya sebagai seorang
pecundang. Kalau kau memang mengharapkan kebebasan setelahnya, walaupun
sebenarnya yang ada hanya pertanggung jawaban, untuk harapan sebesar itu perlu
kegagahan dan keberanian. Kau hanya pantas mendapatkannya kalau kau sudah
menuntaskan kewajibanmu atas kehidupan, bukan lari dari tanggung jawab
sepertiku dan berakhir dalam lolongan sesal tanpa ujung.”
“Dia masih menyayangi kakak, bahkan dalam kematian.” Adikku kini
menangis sejadi-jadinya, memeluk tubuhku seerat-eratnya. “Dia mantan pacar
kakak yang meninggal karena gantung diri, kan?”
“Aku tidak akan pernah menyalahkan tindakanmu, sayang.” Aku
mencium pipi adikku. “Aku merasa bersalah atas kematiannya, karena tidak
menyadari tanda-tandanya dan malah sering mengabaikannya. Kita hanya harus
sedikit lebih peduli, ya?”
“Kalau kakak itu masih di sini,”
“Ssst.” Aku mengedipkan sebelah mataku. “Dia sejak tadi ada
di sini.”
Komentar
Posting Komentar
Thanks for reading! Waiting for your response