Langsung ke konten utama

Karena Aku?

Sekilas Cerita
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari20
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018

"Kau bisa melihat hantu?"

Laki-laki itu menatapku dengan mata terbelalak. Aku tidak menjawab kecuali dengan anggukan kecil, setelah berpikir dan meragu. Laki-laki itu lalu menatapku penuh selidik selama 5 menit lalu tersenyum lebar. "Keren."

Pipiku bersemu merah, membalas dengan senyum tipis. "Aku tidak terlalu merasa begitu."

"Masa sih?"

Lalu kami tertawa.

Hari-hari berikutnya kami lalui bersama. Dia menyapaku sebelum masuk kelas,  duduk di sebelahku sepanjang hari, dan mengantarku setidaknya sampai gerbang sekolah setelah jam pulang.

"Sayang sekali rumah kita tidak searah." Dia berkali-kali mengatakan itu dengan senyum memohon maaf. Aku mengangguk sambil tersenyum juga.

"Tidak apa-apa. Aku bisa bosan kalau harus terus bersamamu bahkan sebelum dan sesudah jam sekolah."

Ia merengut, aku tertawa. Tidak peduli pada orang-orang yang melihat heran ke arah kami. Aku tidak merasa sudah melakukan hal yang salah.

Kami berteman sangat baik. Ia suka bercerita dan aku senang hati mendengarkan. Ia juga lumayan cerdas dan sering membantuku di jam-jam pelajaran, bahkan saat ujian. Tawaran menarik, tapi aku selalu tertawa sambil menolaknya.

"Kalau aku menerima bantuanmu, bagaimana nanti kalau setelah lulus aku malah tidak tahu apa-apa?"

Dia baru saja akan tersenyum, namun cepat terganti dengan tundukan sendu.
"Kau benar, kita akan berpisah." Dia mencoba kembali tersenyum. "Kau mau melanjutkan sekolah di mana?"

Percakapan hari itu berlanjut tentangku, tentang rencana masa depanku. Dia terus mengangguk dan tersenyum, membuat pipi dan hatiku menghangat.

"Kau tahu," kataku di sela-sela perandaian. "Kadang-kadang terpikirkan untuk tetap di sini."

"Karena aku?"

"Menurutmu?"

Aku tertawa, namun ia menatap serius. Sambil menggeleng, tatapannya melunturkan selera guyonku. "Kalau memang begitu, jangan temui aku lagi. Aku tidak mau menghalangimu."

Aku ikut serius. "Tidak sepenuhnya karenamu, jangan pergi." Aku lalu terdiam menatapnya. "...terlalu cepat."

Merasakan suasana berubah sendu, ia cepat-cepat mengubah pembicaraan. "Omong-omong, kenapa kau memutuskan untuk melihat hantu lagi?"

"Memangnya aku bisa seenaknya memutuskan untuk tidak melihat hantu?"

"Ayolah, kau paham maksudku." Tatapannya menangkap mataku. "Dulu kau bercerita, setelah dikucilkan saat SD karena sering berinteraksi dengan hantu, kau kan tidak peduli lagi pada mereka saat SMP. Lalu,"

"Hei!" Beberapa anak perempuan berseru memanggilku. Aku menengok, membalas panggilan mereka dengan lambaian. "Kemarilah, bergegas!"

"Sepertinya aku harus pergi." Aku beranjak, melambaikan tangan sambil tersenyum padanya. Ia menoleh ke belakang, lalu mengangguk kepadaku.

"Baiklah, mungkin lain kali."

Aku berbalik, berlari kecil ke arah anak-anak perempuan itu. Salah satu dari mereka menatapku sambil bersedekap, beberapa lainnya merangkulku setelah menoleh ke belakangku.

"Aku tidak mengerti apa masalahmu," kata perempuan yang bersedekap. "Ceritakanlah, agar kami tahu kenapa kau lebih sering sendirian belakangan ini. Kau membuat kami cemas, tahu!"

"Terima kasih sudah mencemaskanku, ah, maksudku maaf." Aku tersenyum tipis, menggeleng. "Aku tidak punya masalah apa-apa."

"Berhentilah bersikap begini!" Seseorang membentakku. Aku terdiam saat melihat matanya yang berkaca-kaca. "Kau membuat kami takut."

"Aku baik-baik saja, percayalah." Aku sekali lagi tersenyum, ikut berjalan bersama mereka.

"Baiklah, mungkin kau merasa kami tidak bisa banyak membantu untuk menghadapi ujian akhir, kami bisa terima kalau kau mau lebih fokus daripada kami." Seseorang lagi menangkap pundakku. "Tapi kau berbicara sendiri, tertawa sendiri, dan sejak beberapa hari lalu malah pindah ke kursi belakang dan mendudukkan tasmu di kursi sebelahmu. Apa penjelasanmu?"

Aku menoleh ke belakang, menatap laki-laki itu yang memandang dari kejauhan. Dia kembali membalikkan badan setelah memberi senyum sendu, persis yang ia selalu tampakkan di kursi belakang, sebelum aku pindah duduk di sebelahnya.

"Kalian tahu," Mataku tak lepas dari punggung laki-laki itu yang semakin samar seiring detiknya. "Kesepian itu menyakitkan."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Anti-Mainstream

 Pidato termasuk salah satu tugas di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Di sekolah, umumnya guru-guru menentukan tema pidato yang berkaitan dengan pendidikan, lingkungan, atau IPTEK. Tentu untuk tugas sekolah, kita lebih condong memilih tema Pendidikan. Tapi, pidato yang dibawakan hanya tentang itu-itu saja,alias mainstream , sekedar mengulas perkembangan pendidikan di Indonesia. Hm, bagaimana kalau kita mencoba membuat pidato yang anti-mainstream ??  Berburu Bocoran Soal Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu Pertama-tama marilah kita mengucapkan syukur kepada Allah SWT. karena atas izin-Nya kita dapat berkumpul kembali di kelas kita ini. Pada kesempatan ini, saya ingin membahas trending topic di kalangan para siswa tingkat akhir di setiap jenjang pendidikan. Yaitu, Ujian Nasional. Tetapi, saya bukannya ingin membahas tentang berbagai persiapan dalam menghadapi Ujian Nasional, melainkan tentang fenomena pemburuan bocoran-bocoran soal Ujian Nasional. ...

Jerit Malam

Sepotong Puisi Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari18 Komunitas Sahabat Pena UGM 2018 Apa cuma aku Yang tak sedikit pun menjerit di agenda jerit malam? Hanya diam tanpa komentar Hanya berjalan tanpa rehat Semakin cepat kaki, semakin cepat waktu Kanan-kiri, depan-belakang, memekik-menjerit Sosok melompat dari punggung pohon, memantul dari balik semak Bulan bekerja sama menyoroti Mungkin memang hantu sungguhan Mungkin bukan rekayasa panitia Tapi pohon dan hutan tak akan menyakiti jika tak disakiti Begitu pun roh di dalamnya Kadang menelengkan kepala Menarik senyum dan alis Apa cuma aku Yang mengangguk dan bersalam? Kembali diam tak berucap Lanjut berjalan tanpa stop Semakin lebar langkah, semakin lekas beranjak Tengkuk, lengan, tungkai, bulu roma biar menegak Biar ada yang menyeringai dari pucuk pohon Masih samar dan terus berbayang Biar bulan tak redup sedikit pun Mataku menunduk rendah Matanya berkilat merah

Bikini Atoll: The True Nuclear Battlefield

[disclaimer: the following article is a used assignment of mine on July 2020 under Aquatic Ecology course] DISASTROUS BATTLE BROUGHT TO THE ATOLLS The Republic of Marshall Islands is an America associated country which located in the central Pacific Ocean. It is spanning more than 5,025,000 km 2 , comprised of 1,225 islands and islets including 29 atolls and five solitary low coral islands. Most atolls of the Marshall Islands consist of an irregular shaped reef-rim with numerous islets encircling a lagoon with water depths that can reach 60 m. Prior to Western contact, people of Marshall Islands relied on fishing and tropical agriculture for subsistence.   (Beager et al., 2008). Meanwhile, the Northern edge of Marshall Islands is no longer known to be safe for human habitation. Located above the equator in Pacific Ocean, the ring of 23 islands surrounding a lagoon called Bikini Atoll. On February 1944, during the peak of World War II, Kwajalein Atoll in the southeast of Bikin...