Sekilas Cerita
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari23
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
"Mau jadi apa kalau besar nanti?"
"Heh?"
"Iya," Aku menarik tubuh mendekatinya. "Pilot? Dokter? Tentara?"
"Kenapa memangnya?" Dia menengadah, memperhatikan pesawat mainannya mendarat di bawah kaki. "Aku belum memikirkan hal seperti itu."
Aku merampas remot pesawatnya lalu menggantinya dengan sebuah majalah kartun bergambar seorang putri dan seorang pangeran di atas kuda putih. "Kau tahu, aku sangat ingin menjadi putri seperti di sini." Aku menunjuk gambar itu.
"Ya terserah kau saja." Dia mengambil pesawat mainannya lalu merapikan benda itu. "Lagipula kau tidak terlihat seperti putri itu sama sekali."
"Aku bisa mengusahakan penampilan." Aku mengikuti langkahnya sambil mengibaskan majalah tadi. "Tapi aku butuh bantuanmu."
Kami berhenti di musholla, dia berlari kecil ke arah keran air dan mencuci kakinya. Setelah selesai, kami duduk-duduk di teras musholla untuk menghindari panas matahari yang membuat kepala terasa agak pening.
Sepertinya kepanasan, ia merampas majalahku dan mengipasi lehernya dengan majalah itu. "Apa? Entah mau jadi apa aku nanti, tapi sepertinya bukan ahli rias atau pemilik salon."
Aku memanyunkan bibir lalu merebut kembali majalah itu. "Aku butuh sesuatu dari sini, sesuatu yang harus dimiliki seorang putri agar lengkap,"
Dia terdiam menatapku, aku menahan kesal melihat wajahnya. Dia lalu menoleh padaku dengan wajah yang lebih menyebalkan lagi. "Kau mau aku menjadi pangeranmu?"
"Eh?"
Aku membuka majalah itu lebar-lebar lalu mendekatkan lembarannya ke wajahnya. "AKU BUTUH KUDA, BUKAN PANGERAN."
Dia melongo lalu merampas majalah itu cepat. Tak lama dia sudah mengipasiku dengan majalah itu. "Pasti otakmu mendidih karena panas." Lalu ia tiba-tiba memukulkan majalah itu ke pundakku. "KAU PIKIR AKU KUDA?"
"Aku hanya merasa kau cocok jadi kudaku." Aku melipat majalah itu lalu meletakkannya di antara kami.
Ia melirik majalah itu lalu menatapku. "Lalu siapa yang jadi pangerannya?"
"Huh?" Aku menerawang pandang. "Benar juga. Menurutmu siapa yang cocok?"
Dia lalu beranjak tanpa menoleh. "Kau pernah dengar cerita Pangeran Katak?"
Aku mengikutinya sambil mengomel karena ditinggal, "Ya, kenapa?"
"Bagaimana menurutmu kalau cerita itu diubah menjadi Pangeran Kuda?"
Aku sudah beriringan dengannya, mengangguk ragu. "Ya berarti kau harus mau jadi kuda dulu, kan?"
Dia menatapku heran lalu berpikir-pikir sambil berjalan. "Begini saja, ayo lihat se-putri apa kau bisa berubah, dan akan aku pertimbangkan tawaran untuk menjadi kuda itu."
Aku tertawa seketika lalu menatapnya, "Berarti kalau besar kau bisa saja ingin menjadi kuda?"
"Ini namanya debat kusir, kalau aku tidak salah."
"Loh, sekarang kau mau jadi kusir kereta kuda? Siapa yang jadi kudanya?"
"Tidak ada, kereta itu terbang."
"Akan lebih menyenangkan kalau ditarik kuda bersayap."
Dia menghentikan langkah lalu berbalik menarik kulit pipiku sampai merah muda. "Tidak akan ada pangeran yang mau mengajakmu naik kuda."
Aku menepis tangannya sambil meringis. "Ya sudah aku naik kereta terbangmu saja."
"Tidak ada hal seperti itu." Dia mendengus kesal lalu menunjukkan pesawat mainannya. "Tapi kalau kau mau terbang, aku bisa mengajakmu dengan pesawat."
"Berarti kau mau jadi pilot?"
Dia termenung, menatap pesawat di tangannya. "Ya, mungkin."
Aku berkacak pinggang. "Kenapa tidak menjawab begitu dari awal?"
Dia menyipitkan mata lalu diam sebentar. Tak lama, dia mengedikkan bahu lalu melengos pergi. Aku mendengus kesal lalu berteriak ke arahnya. "Kalau kau memang mau jadi pangeran, katakan saja!"
Dia melambaikan tangan tanpa menoleh, "Ya, siapa peduli!"
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari23
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
"Mau jadi apa kalau besar nanti?"
"Heh?"
"Iya," Aku menarik tubuh mendekatinya. "Pilot? Dokter? Tentara?"
"Kenapa memangnya?" Dia menengadah, memperhatikan pesawat mainannya mendarat di bawah kaki. "Aku belum memikirkan hal seperti itu."
Aku merampas remot pesawatnya lalu menggantinya dengan sebuah majalah kartun bergambar seorang putri dan seorang pangeran di atas kuda putih. "Kau tahu, aku sangat ingin menjadi putri seperti di sini." Aku menunjuk gambar itu.
"Ya terserah kau saja." Dia mengambil pesawat mainannya lalu merapikan benda itu. "Lagipula kau tidak terlihat seperti putri itu sama sekali."
"Aku bisa mengusahakan penampilan." Aku mengikuti langkahnya sambil mengibaskan majalah tadi. "Tapi aku butuh bantuanmu."
Kami berhenti di musholla, dia berlari kecil ke arah keran air dan mencuci kakinya. Setelah selesai, kami duduk-duduk di teras musholla untuk menghindari panas matahari yang membuat kepala terasa agak pening.
Sepertinya kepanasan, ia merampas majalahku dan mengipasi lehernya dengan majalah itu. "Apa? Entah mau jadi apa aku nanti, tapi sepertinya bukan ahli rias atau pemilik salon."
Aku memanyunkan bibir lalu merebut kembali majalah itu. "Aku butuh sesuatu dari sini, sesuatu yang harus dimiliki seorang putri agar lengkap,"
Dia terdiam menatapku, aku menahan kesal melihat wajahnya. Dia lalu menoleh padaku dengan wajah yang lebih menyebalkan lagi. "Kau mau aku menjadi pangeranmu?"
"Eh?"
Aku membuka majalah itu lebar-lebar lalu mendekatkan lembarannya ke wajahnya. "AKU BUTUH KUDA, BUKAN PANGERAN."
Dia melongo lalu merampas majalah itu cepat. Tak lama dia sudah mengipasiku dengan majalah itu. "Pasti otakmu mendidih karena panas." Lalu ia tiba-tiba memukulkan majalah itu ke pundakku. "KAU PIKIR AKU KUDA?"
"Aku hanya merasa kau cocok jadi kudaku." Aku melipat majalah itu lalu meletakkannya di antara kami.
Ia melirik majalah itu lalu menatapku. "Lalu siapa yang jadi pangerannya?"
"Huh?" Aku menerawang pandang. "Benar juga. Menurutmu siapa yang cocok?"
Dia lalu beranjak tanpa menoleh. "Kau pernah dengar cerita Pangeran Katak?"
Aku mengikutinya sambil mengomel karena ditinggal, "Ya, kenapa?"
"Bagaimana menurutmu kalau cerita itu diubah menjadi Pangeran Kuda?"
Aku sudah beriringan dengannya, mengangguk ragu. "Ya berarti kau harus mau jadi kuda dulu, kan?"
Dia menatapku heran lalu berpikir-pikir sambil berjalan. "Begini saja, ayo lihat se-putri apa kau bisa berubah, dan akan aku pertimbangkan tawaran untuk menjadi kuda itu."
Aku tertawa seketika lalu menatapnya, "Berarti kalau besar kau bisa saja ingin menjadi kuda?"
"Ini namanya debat kusir, kalau aku tidak salah."
"Loh, sekarang kau mau jadi kusir kereta kuda? Siapa yang jadi kudanya?"
"Tidak ada, kereta itu terbang."
"Akan lebih menyenangkan kalau ditarik kuda bersayap."
Dia menghentikan langkah lalu berbalik menarik kulit pipiku sampai merah muda. "Tidak akan ada pangeran yang mau mengajakmu naik kuda."
Aku menepis tangannya sambil meringis. "Ya sudah aku naik kereta terbangmu saja."
"Tidak ada hal seperti itu." Dia mendengus kesal lalu menunjukkan pesawat mainannya. "Tapi kalau kau mau terbang, aku bisa mengajakmu dengan pesawat."
"Berarti kau mau jadi pilot?"
Dia termenung, menatap pesawat di tangannya. "Ya, mungkin."
Aku berkacak pinggang. "Kenapa tidak menjawab begitu dari awal?"
Dia menyipitkan mata lalu diam sebentar. Tak lama, dia mengedikkan bahu lalu melengos pergi. Aku mendengus kesal lalu berteriak ke arahnya. "Kalau kau memang mau jadi pangeran, katakan saja!"
Dia melambaikan tangan tanpa menoleh, "Ya, siapa peduli!"
Komentar
Posting Komentar
Thanks for reading! Waiting for your response