Secarik Kisah
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari24
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
"Aku dulu punya sayap!" Ia berteriak-teriak di sepanjang jalan. "Warnanya biru, seperti langit dan laut."
"Tapi warna birunya langit dan laut berbeda." Seorang anak kecil menatap heran. "Biru yang mana yang kau maksud?"
"Kedua-duanya." Ia berjongkok dan menyejajarkan tatapan matanya dan anak itu. "Tidak tahukah kau kalau laut berwarna biru karena memantulkan warna langit, dan sebaliknya?"
Anak itu terdiam, berpikir. "Tapi darimana warna birunya berasal?"
"Maksudmu?"
"Bukankah maksudnya itu seperti aku berdiri di antara dua cermin yang saling berhadapan," anak itu diam sebentar untuk berpikir. "Lalu aku menyorotkan senter ke salah satunya, sinarnya akan terpantul ke cermin satunya, lalu memantulkannya kembali ke cermin satunya, dan begitu seterusnya?"
Orang yang mengaku bersayap tadi ikut diam lalu mengangguk-angguk sambil menggaruk dagu. "Kurang lebih begitu."
"Kalau memang begitu, lalu apa yang jadi senternya kalau soal warna biru sayapmu itu?"
"Nah," orang tadi tersenyum lebar. "Sayapku."
"Sayapmu yang menjadi senternya?"
Orang itu mengangguk. "Dulunya, sekarang aku sudah tidak punya sayap lagi. Soalnya, ceritanya panjang tapi akan kucoba ceritakan. Jadi,"
"Tapi kalau aku mematikan senterku, tidak ada lagi cahaya yang dipantulkan." Anak itu menatap lekat-lekat. "Kalau sayapmu hilang, harusnya langit tidak biru lagi, pun laut."
"Nah," orang yang mengaku bersayap itu menjentikkan jari. "Karena sayapku hilang, langit dan laut harus mewarnai diri mereka sendiri. Tapi karena kesibukan masing-masing, warna yang mereka ingat jadi berbeda."
"Cermin tidak punya ingatan." Anak itu membantah.
"Memang." Orang tadi masih tersenyum. "Tapi langit dan laut punya, dan mereka masih berusaha mengingat sayapku dan warnanya."
"Kalau kau, ingat warnanya atau tidak?"
"Sayap itu dulu ada di belakang punggungku." Orang tadi mulai kesal.
"Berarti sekarang kau tidak punya sayap?"
Orang tadi mendengus lelah lalu mengangguk. Sebelum ia berseru, "tapi dulu aku punya" anak tadi buru-buru melanjutkan omongan.
"Kesimpulannya kau tidak punya sayap dan aku yakin sekarang tidak akan ada lagi yang peduli soal itu."
"Tapi kau peduli." Orang tadi berdiri lalu menuding anak itu yang tidak menggeleng.
"Tadi, sekarang tidak." Anak itu lalu beranjak. "Tadi kukira hilangnya sayapmu akan berarti sesuatu, tapi ternyata bahkan langit dan laut yang paling membutuhkan sayapmu, sayangnya bahkan dibanding dirimu sendiri, masih bisa menjalankan kesibukan dengan baik, sejauh pengamatanku. Sementara kau hanya berteriak-teriak tanpa mencari, mengingat, atau melupakan dan melakukan hal lain."
"Kau bicara terlalu banyak." Orang itu menuding si anak sampai terpencet hidungnya. "Kenapa kau tadi peduli?"
"Karena aku adalah sayapmu." Anak itu berbalik lalu pergi tanpa menoleh. "Dulunya."
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari24
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018
"Aku dulu punya sayap!" Ia berteriak-teriak di sepanjang jalan. "Warnanya biru, seperti langit dan laut."
"Tapi warna birunya langit dan laut berbeda." Seorang anak kecil menatap heran. "Biru yang mana yang kau maksud?"
"Kedua-duanya." Ia berjongkok dan menyejajarkan tatapan matanya dan anak itu. "Tidak tahukah kau kalau laut berwarna biru karena memantulkan warna langit, dan sebaliknya?"
Anak itu terdiam, berpikir. "Tapi darimana warna birunya berasal?"
"Maksudmu?"
"Bukankah maksudnya itu seperti aku berdiri di antara dua cermin yang saling berhadapan," anak itu diam sebentar untuk berpikir. "Lalu aku menyorotkan senter ke salah satunya, sinarnya akan terpantul ke cermin satunya, lalu memantulkannya kembali ke cermin satunya, dan begitu seterusnya?"
Orang yang mengaku bersayap tadi ikut diam lalu mengangguk-angguk sambil menggaruk dagu. "Kurang lebih begitu."
"Kalau memang begitu, lalu apa yang jadi senternya kalau soal warna biru sayapmu itu?"
"Nah," orang tadi tersenyum lebar. "Sayapku."
"Sayapmu yang menjadi senternya?"
Orang itu mengangguk. "Dulunya, sekarang aku sudah tidak punya sayap lagi. Soalnya, ceritanya panjang tapi akan kucoba ceritakan. Jadi,"
"Tapi kalau aku mematikan senterku, tidak ada lagi cahaya yang dipantulkan." Anak itu menatap lekat-lekat. "Kalau sayapmu hilang, harusnya langit tidak biru lagi, pun laut."
"Nah," orang yang mengaku bersayap itu menjentikkan jari. "Karena sayapku hilang, langit dan laut harus mewarnai diri mereka sendiri. Tapi karena kesibukan masing-masing, warna yang mereka ingat jadi berbeda."
"Cermin tidak punya ingatan." Anak itu membantah.
"Memang." Orang tadi masih tersenyum. "Tapi langit dan laut punya, dan mereka masih berusaha mengingat sayapku dan warnanya."
"Kalau kau, ingat warnanya atau tidak?"
"Sayap itu dulu ada di belakang punggungku." Orang tadi mulai kesal.
"Berarti sekarang kau tidak punya sayap?"
Orang tadi mendengus lelah lalu mengangguk. Sebelum ia berseru, "tapi dulu aku punya" anak tadi buru-buru melanjutkan omongan.
"Kesimpulannya kau tidak punya sayap dan aku yakin sekarang tidak akan ada lagi yang peduli soal itu."
"Tapi kau peduli." Orang tadi berdiri lalu menuding anak itu yang tidak menggeleng.
"Tadi, sekarang tidak." Anak itu lalu beranjak. "Tadi kukira hilangnya sayapmu akan berarti sesuatu, tapi ternyata bahkan langit dan laut yang paling membutuhkan sayapmu, sayangnya bahkan dibanding dirimu sendiri, masih bisa menjalankan kesibukan dengan baik, sejauh pengamatanku. Sementara kau hanya berteriak-teriak tanpa mencari, mengingat, atau melupakan dan melakukan hal lain."
"Kau bicara terlalu banyak." Orang itu menuding si anak sampai terpencet hidungnya. "Kenapa kau tadi peduli?"
"Karena aku adalah sayapmu." Anak itu berbalik lalu pergi tanpa menoleh. "Dulunya."
Komentar
Posting Komentar
Thanks for reading! Waiting for your response