Langsung ke konten utama

Dalam Bis di Tengah Malam

Secuil Cerita
Untuk #Challenge30HariSAPE_Hari19
Komunitas Sahabat Pena UGM
2018

Dunia tak lagi tidur sejak terjamah modernisasi. Dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu, dan seterusnya, dan seterusnya. Malam dibanding siang tak lagi lebih gelap, tak lagi lebih senyap, tak lagi merayap-rayap.

Dan demikian pula aku. Sejak mendapat penempatan baru, terang malam adalah siang baruku.

Sudah dua minggu sejak terakhir kali pulangku bersama dengus lelah matahari. Kini aku selalu menuju rumah dihantarkan cekikikan bintang-bintang dan rayuan genit bulan. Ah, tidak lupa dengan bis kota yang dengan bangganya memamerkan betapa metropolitan-nya pekerjaannya, masih memutar roda dan kemudinya hingga lewat tengah malam.

Butuh waktu tiga perempat jam dari halte seberang kantor hingga halte sebelah gang rumahku. Kursi-kursi jarang penuh terisi, paling empat-lima orang yang berpelukan dengan kantuk. Aku biasanya juga ikut dipeluk kantuk, tapi belakangan lebih suka memperhatikan kondektur dan supir. Pasalnya, setiap mendekat tengah malam, bis nomor berapapun yang aku tumpangi, pasti bergegas menuju halte terdekat. Gas kadang diinjak tiba-tiba, bis kadang meliuk patah-patah. Penumpang yang dipeluk kantuk semakin terangguk-angguk, sementara kondektur terus melirik waktu.

Bis akan berhenti di halte terdekat. Tidak jarang kondektur dan supir lekas melompat turun, berganti dengan sepasang yang sudah menanti. Tak banyak berkata, mereka tersenyum-senyum pada pintu yang terbuka tak kurang selama lima belas menit.

Aku selalu memperhatikan, selalu merasakan, bagaimana bis lalu dipaksa mencapai halte selanjutnya dalam empat puluh lima menit. Kadang kurang, tak pernah lebih. Jika kurang, kondektur dan supir baru itu akan tersenyum-senyum lagi pada pintu yang terbuka hingga tuntas empat puluh lima menit, lalu mereka mengangguk dan berganti lagi dengan sepasang yang sudah menunggu di halte.

Ini sudah terjadi setiap malam, berurutan tanpa absen. Maka di malam terakhir aku harus pulang larut, pertanyaan sudah siap aku lontarkan. Kondektur yang aku tanyai hanya tertawa, katanya,

"Tanyakan pada kondektur selanjutnya."

Kondektur selanjutnya hanya tersenyum. Katanya,

"Akan lebih menyenangkan jawaban dari kondektur setelahku."

Kondektur setelahnya ternyata bungkam. Yang menjawab malah seorang remaja yang menguap malas. Katanya,

"Tidakkah Anda merasakan bulu roma meremang selama empat puluh lima menit belakangan?"

Dan demikianlah bintang-bintang semakin lantang cekikikannya dan bulan semakin halus rayuannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Anti-Mainstream

 Pidato termasuk salah satu tugas di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Di sekolah, umumnya guru-guru menentukan tema pidato yang berkaitan dengan pendidikan, lingkungan, atau IPTEK. Tentu untuk tugas sekolah, kita lebih condong memilih tema Pendidikan. Tapi, pidato yang dibawakan hanya tentang itu-itu saja,alias mainstream , sekedar mengulas perkembangan pendidikan di Indonesia. Hm, bagaimana kalau kita mencoba membuat pidato yang anti-mainstream ??  Berburu Bocoran Soal Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu Pertama-tama marilah kita mengucapkan syukur kepada Allah SWT. karena atas izin-Nya kita dapat berkumpul kembali di kelas kita ini. Pada kesempatan ini, saya ingin membahas trending topic di kalangan para siswa tingkat akhir di setiap jenjang pendidikan. Yaitu, Ujian Nasional. Tetapi, saya bukannya ingin membahas tentang berbagai persiapan dalam menghadapi Ujian Nasional, melainkan tentang fenomena pemburuan bocoran-bocoran soal Ujian Nasional. ...

Bikini Atoll: The True Nuclear Battlefield

[disclaimer: the following article is a used assignment of mine on July 2020 under Aquatic Ecology course] DISASTROUS BATTLE BROUGHT TO THE ATOLLS The Republic of Marshall Islands is an America associated country which located in the central Pacific Ocean. It is spanning more than 5,025,000 km 2 , comprised of 1,225 islands and islets including 29 atolls and five solitary low coral islands. Most atolls of the Marshall Islands consist of an irregular shaped reef-rim with numerous islets encircling a lagoon with water depths that can reach 60 m. Prior to Western contact, people of Marshall Islands relied on fishing and tropical agriculture for subsistence.   (Beager et al., 2008). Meanwhile, the Northern edge of Marshall Islands is no longer known to be safe for human habitation. Located above the equator in Pacific Ocean, the ring of 23 islands surrounding a lagoon called Bikini Atoll. On February 1944, during the peak of World War II, Kwajalein Atoll in the southeast of Bikin...