Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2014

Ironi

Kini langit tak lagi biru Kini laut tak lagi eksotis Kini udara tak lagi menenangkan Kini matahari tak lagi menghangatkan Bahkan burung jarang adanya Apa lagi yang akan senada safir? Apa lagi yang akan melambangkan liburan tropis? Apa lagi yang enak dihembuskan? Apa lagi yang ramah menyinari? Kini kicau hanya kalimat digital Kini tablet bukan hanya obat Kini sekian inch berisi segala Kini angin sore dihantam gelombang Kini manusia telah maju Siapa pula yang gemar menatap obat? Siapa pula yang gemar bersusah payah? Siapa pula yang mau menikmati angin kering kotor? Bangsa mana yang enggan maju? Jungkat-jungkit di taman terus tak seimbang Karena tuan rela diperbudak hambanya Tanpa bius biar seujung kuku Sungguh,dunia telah berubah

Sobat

Waktu simfoni mengalun rayu Air mata merebak sudah Waktu getar panggilan mendadak Mata sebulat bola Waktu kata akan bertatap Bibir terus melengkung Waktu diri berdampingan Bahagia beradu wibawa Waktu dialog hanya milik kita Ingin rasanya benamkan waktu di Samudera Atlantik Waktu tangan mulai melambai Berat untuk rela Rasa baru kemarin kita bertemu Berjabat kaku gagu Rasa baru tadi kita tertawa Saling menggoda menyemangati Rasa seabad kita berkawan Memberi dan menerima rasa Menghargai hormati sikap Jari bergetar menekan tombol Ingatan merasuki otak Rasa mengular tanpa ujung Namun kalimat tak dapat menyimbolkan Kita tidak berubah

Boneka

Menatap dua butir bulat sempurna bebas kedip Merengkuh tubuh lembut empuk Berucap sia-sia, berbisik kosong dengan senyum Perindu ini mungkin menangis Tetap akan ada Menanti di atas pulau pengantar mimpi Siap sedia menyambut emosi Tawa, tangis, kesal, gembira Perindu ini memegang erat Mimpi terlalu besar untuk dipikul sendiri Terlampau konyol untuk dibagi pada dunia Senyum yang tersulam di bawah hidung berucap : "Aku akan membantu." Perindu ini semakin merindu Duhai wajah empuk penampung kenangan Mungkin sia-sia seluruhnya Namun yakin tetap mengalir Perindu ini memilih percaya

Kawan Khayal

Abstraksi semu imajinatif Penyebar energi positif Penawar energi negatif Kawan baru yang lama Bantu gores bumi sebelum robek langit Perangkul penuh pemahaman Adalah bayangan dari bayangan Tunas menjadi batang Kawan pupus karena diri, karena dunia "Khayal adalah semu adalah bukan realita adalah omong kosong" Yang pergi tanpa pamit Yang pergi dengan berangsur Yang pergi tanpa kuasa Adalah yang berbagi emosi Kawanku hanya khayal

Melompat Dari Awan Hujan

Riang menampung hadiah-Nya Bersedia menebar pada dunia Namun belum tempo Masih menanti,mengumpulkan Langit biru yang disusutkan Api hangat yang terlampaui Ingatannya merayu dayu Melompat dari awan hujan Mengintip keping langit Merengkuh keping api Rasanya rindu,ingin kembali Melompat dari awan hujan Singgahi kepingan perindu Kecup permukaan,tertawa simpul Ingin melangkah mundur Melompat dari awan hujan Tergoda lampauan perindu Keesokan mengulur ramah Di atas awan hujan Kembali pada awan hujan Berbesar hati, berkuat diri Lampauan mendorong gairah Keesokan menanti tabah Menggenggam api dan langit Meniti awan hujan

Hujan Rasa Kopi

Musim penghujan menghembus pundakku Banyak memilih kopi di sini,sayang Tapi sungguh lidahku tak kuasa Jiwa batinku mulai pekat,sayang Tanpa sebiji pun benda hitam itu Bagaimana kalau aku ikut memilih seduhan? Aku tak berani tahu, sayang Deras gerimis merintik Mirip aku dan suasanaku Aroma harum menguar lembut Tapi sungguh pekat lekat, sayang Mungkin nikmat,khidmat,tak sedap Ini soal kondisi,sayang Sungguh,persepsi merantai Saling membelit sulit tiap kedip Saling menguar kelar tiap hela Ini soal persepsi,sayang Mata kanan, Mata kiri, Keduanya, Atau tidak sama sekali. Ini soal prinsip pula,sayang Senyum senangku,sayang Berusaha terlukis di kertas basah Berusaha hangus di suhu minus Berusaha menyelam di pasir hisap Dan hujan malam ini,sayang Mirip aku,entah identik Hujan ini, Rasanya kopi,sayang.

Seribu Satu

Guliran bulan matahari berbagi singgasana Seribu ditambah satu Adalah neraca dan kacamata Apakah cerita bangga itu lenyap? Seribu berbanding satu Tak sepadan rasa-rasanya Apakah cerita panjang itu hanya rongsok nanti? Indahnya seperti dongeng timur tengah Panjangnya seperti malam kemuliaan Akhirnya adalah improvisasi spontan Menunggu waktu dan tirai tertutup Logika terbayang gairah Percayanya terpercik kesemuan lancung Aku melengkapi keping hati Tak mudah melepas beberapa untuk satu yang pasti Tak mudah tapi dapat Ini soal prinsip dan persepsi Entah tahu, tidak, belum Yang Mulia penuh rahasia

Penatku Untukku

Jangan coba memanggilku Bahkan tolehan takkan kupinjamkan Jangan coba menyentuhku Bahkan hangat takkan mengaliri Karena aku penat Coba ejek aku, berkata aib tentangku Agar himpunan pedasku melelehi leherku,melubanginya Karena aku berusaha membekukan api unggun Entah mengapa Ayo hajar aku Decah getah ludah beradu di lidahku Tapi malas menguapkannya Tapi enggan memaksa kakiku menghentak Penatku bukan untukmu Urusanku bukan milikmu Masalah hamba dan tuannya Masalah makhluk dan Tuhannya Masih menyapu dada,tenangkan hati Aku benar dan aku memuja nama-Nya Aku salah dan aku mengemis ampun-Nya Untuk penat milikku dari-Nya

Pedih

Perih mata meluncuri dada Menatap raut asing tersempil Peringatan telah ditebar Tanpa beban Tanpa sesal Kaki ingin menapak kuat Saat yang lebih membusung hanya tertawa bangga Alasan mentah cacat logika Botol susu bertakar kini usang Lenyapkah malu? Pada yang berlapang di sana Memegang ajaran ideal Yang terkikis denting kilau semu Lenyapkah takut? Kalimat berisi penuh energi Naikkan kelopak dan lihat kekosongannya Nyata dan menusuk Harap jauh dari nyata

Yang Mulia Berang-berang

Yang Mulia Berang-berang Salam hormatku untukmu Yang tak pernah berang Tapi kau tahu? Senyummu membungkus sesuatu. Yang Mulia Berang-berang Aku mencaci diriku sendiri Karena kalimatmu seperti perintah Dan aku tertawa untuk perintah Juga meratap untuk perintah Yang Mulia Berang-berang Salam hormatku padamu Yang jijik melihat tiram Yang terkesima melihat mutiara Aku merasa tertusuk, Yang Mulia Tak inginkah kau membiakkan mutiara? Dan bukannya membenamkan tiram ke dalam pasir Aku mungkin akan tergerus, Yang Mulia. Yang Mulia Berang-berang Beri ampunan pada tiram kisutmu ini Yang mulai dirayu arus Minggat dan menjadi pecundang. Aku hadir di sini, Yang Mulia Bukan untuk dikeritingi.