Langsung ke konten utama

Seorang Laki-Laki Bisu

tentang orang-orang baik yang pernah menjadi atensi 


Aku menatap ke belakang, mendapati juluran kerudungku tersangkut di sandaran kursi. Sambil mundur untuk melepasnya, aku melihat beberapa orang menatapku. Aku tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian, tapi aku berusaha berlagak hal ini tidak menyusahkanku. Saat aku selesai dan balas menatap mereka, mereka menunduk dan beralih.

Aku menghela napas sambil memegangi ujung gamisku agar tidak tersangkut di kaki kursi. Jika bisa dikata, aku adalah orang terasing di kelas ini, karena pakaianku mungkin? Pantas saja paman kemarin menatapku dalam saat aku bilang suatu hari nanti akan bercadar.

.

 “Kamu dari daerah mana? Aku lupa…” Perempuan yang berjalan di sampingku itu menatap ramah.

Aku tersenyum. “Sulawesi.”

“Wah, jauh ya.”

Aku tertawa.

“SMAnya apa?”

“Hah?” Aku mengerutkan alis. “Biarpun aku sebut alamat lengkapnya, kamu palingan cuma tau kota dan provinsinya.”

“Mmm, bukan itu maksudku.” Ia menatap rumput di bawah kaki kami. “MAN atau pondokan?”

Aku melongo sebelum menyadari bahwa tatapannya menyusuri pakaianku. Aku menenggak ludah sambil menghela napas. Sambil berusaha tersenyum, aku menatap wajah penasarannya. “SMA Negeri, kok. Kenapa?”

Aku tidak tahu harus merasa bagaimana saat wajahnya menunjukkan kekagetan. “Bukan sekolah islam begitu, ya? Serius?”

Aku mengangguk. Aku mengenali sedikit risih saat dia menatapku bagai menatap alien, tapi aku tidak tahu harus merasa bagaimana soal itu.

“Loh, kok bisa pakai ginian?”

“Huh?” Aku mengerutkan kening.

Benar juga.

Kenapa, ya?

“Itu, soalnya ibuku jualan kerudung ginian sama gamis. Jadi sekalian branding, deh.” Aku tertawa renyah.

“Oalah, gitu.” Dia tersenyum, mungkin merasa tidak enak sudah menyerangku.

Percakapan kami dilanjutkan dengan bahasan soal usaha jahit bunda. Tapi dalam hati, aku masih bertanya-tanya.

Kenapa?

Kenapa aku memakai gamis dan kerudung panjang kali lebar sama dengan luas?

Bahkan tanpa bunda membuka usaha jahit pun aku sudah sedikit demi sedikit melebarkan kerudung dan memakai rok jika keluar rumah.

Bahkan tanpa bergaul dengan teman-teman rohis aku sudah membatasi sentuhan dengan laki-laki.

Bahkan tanpa melihat tante-tanteku yang berpakaian syar’i pun aku sudah melonggarkan pakaianku.

Lantas kenapa aku melompati banyak tangga dan langsung saja ingin bercadar dan sudah tak mau menanggalkan gamis dan kerudung panjangku di luar kamar asrama padahal dulu aku merasa itu tidak perlu sama sekali?

Bersama teman-teman baru di tanah rantau yang terus-terusan menanyaiku bersama waktu (dan aku memakai usaha jahit  bunda sebagai alasan yang bisa menghentikan penasaran mereka), semua pertimbangan dan pertanyaan itu terus berkeliaran di kepalaku—beranak-pinak, malah.

Kenapa?

Kenapa saat reuni dengan sahabat-sahabat laki-laki masa SDku aku menjauhi mereka padahal dulu aku bahkan sangat ingin punya selembar foto dengan aku di tengah mereka?  Apa hanya karena aku ingin menunjukkan pada salah satunya bahwa aku sudah merelakannya tinggal di masa lalu saja? Kalau itu alasannya, kenapa aku mengurangi pandangan bersahabat pada satunya yang dulu mengajarkan jabat tangan persahabatan yang kalau kuingat sekarang aku ingin menangis haru?

Kenapa?

Padahal aku dulu sempat rela menjemukan kaca karena mencipta bentuk dari balutan kerudungku sebagai penampilan terbaik. Kenapa sekarang aku merasa kalau penampilan terbaik untukku terlihat adalah memakai gamis dan kerudung panjang?

Kenapa?

Kenapa aku bersikeras memakai gamis saat kuliah lapangan mendaki tanah berbukit dan tidak menyalahkannya saat aku tercebur di lumpur sawah? Kenapa bahkan setelah kejadian itu aku tetap memakai gamis saat outbond dan lebih memilih tidak ikut serta dalam kegiatan favoritku itu lagi daripada harus membuat orang lain kesulitan karena keterbatasan (yang tidak menyusahkanku, sebenarnya) daripada memakai celana longgar dan kerudung yang menutupi sebatas dadaku?

Kenapa?

Hah. Aku menghela napas. Semoga, pikirku dalam hati suatu sore, karena Allah. Bukan karena, aku menggigit tepi bibir sambil memejam,

 laki-laki bisu itu.

“Dia bahkan tidak mengenalku.” sergahku saat angin berhembus di sisi kepalaku.

.

“Namamu siapa?”

Aku menoleh sambil mengangkat alis. Laki-laki yang jauh lebih tinggi dariku itu menutup botol minumnya. Kami sempat mengobrol ringan tadi, di depan keran air minum kampus.

“Kita sekelompok tahu.” Aku terkekeh setelah menyebut namaku.

“Oh, iya ya.” Dia tertawa, lalu menatapku lagi.

Aku menutup keran saat botol minumku penuh. Rasanya aneh diperhatikan lamat-lamat sejak tadi. Walaupun dengan kacamata itu dia seperti pamanku yang di Sulawesi yang selalu menatapku penuh kasih, dia menatapku dengan antusiasme yang menakutiku.

Aku menundukkan kepala, menghindari tatap dan senyumnya.

“Kalau begitu aku duluan, ya. Assalamualaikum.”

Aku mengangguk. “Waalaikumussalam.”

Sambil menutup botol air minum, aku menatap langit yang gelap karena petang. Biasanya kalau sudah begini, aku akan menelepon ayahku untuk menjemput. Aku menghela napas, balik kanan untuk kembali ke laboratorium.

Sebuah mobil melintas di depanku. Warnanya perak dan terisi penuh sebuah keluarga inti. Rasa-rasanya aku ingin menggigit bibir dan baru akan kasihan pada diri sendiri kalau saja sebuah sepeda motor dengan sepasang kekasih di atasnya menyusul mobil perak itu.

Aku mengerutkan kening, “Apa-apaan!?”

.

Seperti biasa, aku telentang dengan ponsel di muka wajah. Grup Orientasi Kampus sedang ramai olehku dan seorang teman di fakultas tetangga. Kami membahas hal tidak penting dan ia beberapa kali bersikap mengesalkan.

“Dibaca oleh 11. Tidak ada yang menyela, nih?” gumamku. Syukur tidak ada yang berpikiran aneh-aneh.

Bagaimana tidak? Seorang teman ini adalah laki-laki yang baru makan hidangannya yang sudah dingin saat hidanganku diantarkan oleh pramusaji, beberapa waktu lalu saat reuni kelompok orientasi.

Tindakan manis?

Tidak.

Tanpa sedikit pun mengurangi rasa hormatku padanya, aku mencap tindakan itu sebagai tindakan yang mengerikan kalau saja dia bersikap begitu bukan atas dasar sopan santun.

.

Apel pagi SMA tidak pernah tidak berisik. Terkadang aku kasihan pada guru yang mendapat giliran berpidato di podium, mengadu suaranya dengan kasak-kusuk remaja tanggung yang mengantuk dan lebih ingin melamun di bawah AC daripada berdiri dipanggang matahari seperti ikan kering.

“Perhatian anak-anak sekalian, tolong dengarkan,” Aku mendengarmu, Pak. Sungguh. “Bapak dapat info lomba tilawah yang diadakan lembaga dakwah di kota ini. Bapak sangat mengharapkan kesediaan kalian untuk berpartisipasi. Yang mau ikut bisa hubungi bapak, nanti akan diadakan tes dan pembinaan.”

Aku baru sadar kalau yang berbicara itu guru pendidikan agama islam yang baru. Soalnya sejak tadi tema pidatonya tidak menyinggung islam sama sekali. Omong-omong, rasanya seseorang di kelasku punya kemampuan yang cukup untuk lomba itu.

“Katakan pada Kaze soal lomba itu. Aku berani bertaruh tidak ada yang bisa mengalahkannya.”

Huh? Ada sekelompok anak dari kelas lain tepat di samping telingaku. Siapa yang mereka bicarakan? Kaze? Sepertinya aku tahu yang seperti apa orangnya si Kaze itu. Yah, beberapa teman memang sering membicarakannya dan suaranya saat tilawah, tapi apa sampai segitunya?

“Kau bercanda?” Seseorang yang lain membalas. “Dia tidak akan mau.”

Aku entah kenapa malah curi dengar percakapan mereka. Apa-apaan si Kaze ini? Setahuku dia tidak banyak bertingkah, kenapa sok jual mahal? Ini atas nama sekolah dan bukan hal buruk kalau dilihat dari sudut pandang manapun.

“Kau lupa? Dia sudah bersumpah tidak akan membiarkan orang mendengar suaranya saat tilawah lagi, mengunci mulutnya rapat-rapat persis orang bisu, sampai dia akan membacakannya untuk istrinya kelak.”

Mataku membulat.

Itu konyol sekali, tapi kenapa aku gemetar mendengarnya?

“Dia itu, seperti romantis dengan caranya sendiri.” Orang tadi tertawa. “Untuk laki-laki seperti dia, siapa yang nanti akan jadi istrinya?”

“Kau tahu jawabannya. Di al-Qur’an dikatakan, laki-laki baik adalah untuk perempuan baik, dan begitu sebaliknya. Yah, paling tidak seseorang yang sama alimnya dengan dia, kan?”

Ya, perempuan seperti apa yang akan bersanding dengannya?

Aku menoleh ke belakang tapi tidak mendapati Kaze.

Apa perempuan seperti aku pantas mendapatkan laki-laki seperti dia nanti?

“Eh!?” Aku menampar pelan pipiku yang tiba-tiba merah, semoga karena kepanasan. “Apa-apaan sih aku ini?”

Harapan yang terlalu tinggi, ya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Anti-Mainstream

 Pidato termasuk salah satu tugas di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Di sekolah, umumnya guru-guru menentukan tema pidato yang berkaitan dengan pendidikan, lingkungan, atau IPTEK. Tentu untuk tugas sekolah, kita lebih condong memilih tema Pendidikan. Tapi, pidato yang dibawakan hanya tentang itu-itu saja,alias mainstream , sekedar mengulas perkembangan pendidikan di Indonesia. Hm, bagaimana kalau kita mencoba membuat pidato yang anti-mainstream ??  Berburu Bocoran Soal Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu Pertama-tama marilah kita mengucapkan syukur kepada Allah SWT. karena atas izin-Nya kita dapat berkumpul kembali di kelas kita ini. Pada kesempatan ini, saya ingin membahas trending topic di kalangan para siswa tingkat akhir di setiap jenjang pendidikan. Yaitu, Ujian Nasional. Tetapi, saya bukannya ingin membahas tentang berbagai persiapan dalam menghadapi Ujian Nasional, melainkan tentang fenomena pemburuan bocoran-bocoran soal Ujian Nasional. ...

Bikini Atoll: The True Nuclear Battlefield

[disclaimer: the following article is a used assignment of mine on July 2020 under Aquatic Ecology course] DISASTROUS BATTLE BROUGHT TO THE ATOLLS The Republic of Marshall Islands is an America associated country which located in the central Pacific Ocean. It is spanning more than 5,025,000 km 2 , comprised of 1,225 islands and islets including 29 atolls and five solitary low coral islands. Most atolls of the Marshall Islands consist of an irregular shaped reef-rim with numerous islets encircling a lagoon with water depths that can reach 60 m. Prior to Western contact, people of Marshall Islands relied on fishing and tropical agriculture for subsistence.   (Beager et al., 2008). Meanwhile, the Northern edge of Marshall Islands is no longer known to be safe for human habitation. Located above the equator in Pacific Ocean, the ring of 23 islands surrounding a lagoon called Bikini Atoll. On February 1944, during the peak of World War II, Kwajalein Atoll in the southeast of Bikin...