Langsung ke konten utama

Mimpi

 tentang seorang pelajaran terbesar


Lelaki itu membuka pintu depan dengan suara sepelan yang dia bisa. Dengan itu, ternyata sambutan yang menunggu juga sama senyapnya—hanya suara monolog saluran televisi. Sambil melirik jam besar di ruang depan, ia mengeluh pelan dan mengunci pintu. Dia memang sudah pulang terlalu larut.

“Ra?”

“Mmh…”

Istrinya duduk di muka televisi dengan memangku buku dan biskuit coklat, terlelap setengah duduk. Sebuah senyum hangat terlukis di bibir lelaki itu bersama tangan yang hendak menyingkap anak-anak rambut yang meluncuri wajah wanitanya. Tapi niatannya terhenti saat matanya menangkap kedipan layar ponsel di depan perempuan itu.

Sebuah pesan masuk, mungkin sudah sejak setengah jam lalu, dari seorang laki-laki yang bukan dirinya.

Sontak saja keningnya berkerut dan tangannya beralih pada benda itu.

“Oh…” Wajah lelaki itu kembali lurus saat mengenali pengirim pesan itu, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya sahabat lama istrinya yang juga ia kenali dengan sangat baik. Tapi bagaimanapun, lelaki itu tak bisa menahan keinginannya untuk menelusuri percakapan mereka.

“Hehe, aku tidak se-selo dulu lagi. Mulai sekarang, kamu menang, oniichan. Maaf nggak bisa lanjut jadi rivalmu lagi, walaupun aku sebenarnya masih pengen ke Jepang, lanjut sekolah, main salju lagi. Tapi yaa, beginilah yang terbaik buat aku, jadi kamu juga harus lakukan yang terbaik di sana! Hehe, ku yakin kau mengerti kan?”

“Ha-I imotochan. Kalem, once a rival-always a rival. Kamu menang banyak dari aku soal hal-hal lain, misalnya sekarang kamu jauh lebih bijak karena sudah jadi ibu-ibu. Tetap jaga semangatmu dan wariskan ke anak-anakmu hahaha.”

Lelaki itu tidak mengerti sisanya, karena pesan itu lalu dilanjutkan dengan bahasa dan huruf Jepang yang tidak ia pahami. “Mas Dean, ini Sandi. Mira ketiduran kayaknya, ini aku baru nyampe rumah hehe. Gimana mas?”

“Oh ya ampun. Maafkan aku ya hehe. Oke, titip semangat buat Mira, Sora, Ame, sama Kawa yaa, buat kamu juga! Jagain mereka loh.”

“Siap laksanakan mas hehe.”

.

.

.

“Makasih loh ya.”

“Ho oh. Apaan sih? Kok makin ke sini makin random aja lu. Udah beranak tiga padahal.”

Sandi tertawa sebelum memutuskan panggilan. Dia lalu membuka kembali percakapan Mira dan Mas Dean, menelusuri awal percakapan mereka malam ini hingga mencapai sebuah foto yang dDeanrim Mas Dean ke Mira.

“Itu foto di Gunung Fuji di Jepang. Terus tulisan di kertasnya itu bacanya, ngg, hei adik perempuanku, kapan menyusul? Jangan pas aku nyusul kamu nikah, ya, masih lama banget soalnya hehe. Semangat dan tetap bahagia!

Sandi mengingat persis kata teman yang dihubunginya tadi untuk membantu menerjemahkan foto itu. Dia lalu melirik istrinya yang masih tidak berganti posisi karena tadi ia terburu-buru mencari tahu. Sekonyong-konyong ingatan tentang awal ia bertemu wanita itu mendatangi pDeanrannya.

“Benar juga.” Sandi mendekati Mira yang mendengkur halus dengan peluh di leher—wanita itu pasti melewati hari yang berat bersama 3 bocah hiperaktif tadi. “Aku egois banget ya, waktu kamu baru pulang dari Inggris, langsung datang tanpa terima penolakan. Kamu juga, sih, nggak mau nolak.”

Lelaki itu meraup tubuh Mira dalam sekali gendongan, membuat wanita muda itu sontak saja terbuka matanya. “Eh, Sandi? Kamu sudah pulang? Turunin aku, ayo, aku buatin makan?”

Shut up my lady.” Sandi menahan geliat Mira sambil membawanya masuk ke kamar mereka. “Lihat orang gendut kayak kamu langsung kenyang aku.”

“Apa-apaan.” Mira bergerak cepat saat ia dilepaskan di kasur. “Aku nggak peduli kalau kamu sudah makan, aku belum makan. Jangan halangin jalan, kamu lebih tahu bahayanya asam lambung kalau naik, Pak Dokter.”

“Judes amat, sih, Bu Dokter?” Sandi meraih pinggang Mira lalu menggendongnya lagi. “Ayo, malam ini aku yang masak.”

Mira tertawa sementara Sandi menatapnya dalam. “Atau kamu lebih pengen dipanggil Bu Doktor, ya, Ra?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Anti-Mainstream

 Pidato termasuk salah satu tugas di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Di sekolah, umumnya guru-guru menentukan tema pidato yang berkaitan dengan pendidikan, lingkungan, atau IPTEK. Tentu untuk tugas sekolah, kita lebih condong memilih tema Pendidikan. Tapi, pidato yang dibawakan hanya tentang itu-itu saja,alias mainstream , sekedar mengulas perkembangan pendidikan di Indonesia. Hm, bagaimana kalau kita mencoba membuat pidato yang anti-mainstream ??  Berburu Bocoran Soal Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu Pertama-tama marilah kita mengucapkan syukur kepada Allah SWT. karena atas izin-Nya kita dapat berkumpul kembali di kelas kita ini. Pada kesempatan ini, saya ingin membahas trending topic di kalangan para siswa tingkat akhir di setiap jenjang pendidikan. Yaitu, Ujian Nasional. Tetapi, saya bukannya ingin membahas tentang berbagai persiapan dalam menghadapi Ujian Nasional, melainkan tentang fenomena pemburuan bocoran-bocoran soal Ujian Nasional. ...

Bikini Atoll: The True Nuclear Battlefield

[disclaimer: the following article is a used assignment of mine on July 2020 under Aquatic Ecology course] DISASTROUS BATTLE BROUGHT TO THE ATOLLS The Republic of Marshall Islands is an America associated country which located in the central Pacific Ocean. It is spanning more than 5,025,000 km 2 , comprised of 1,225 islands and islets including 29 atolls and five solitary low coral islands. Most atolls of the Marshall Islands consist of an irregular shaped reef-rim with numerous islets encircling a lagoon with water depths that can reach 60 m. Prior to Western contact, people of Marshall Islands relied on fishing and tropical agriculture for subsistence.   (Beager et al., 2008). Meanwhile, the Northern edge of Marshall Islands is no longer known to be safe for human habitation. Located above the equator in Pacific Ocean, the ring of 23 islands surrounding a lagoon called Bikini Atoll. On February 1944, during the peak of World War II, Kwajalein Atoll in the southeast of Bikin...