[keterangan: tulisan ini disusun sebagai tugas Biokimia pada 2018]
Tiga-perempat permukaan bumi terendam oleh air. Kelimpahan air adalah alasan utama Bumi dapat dihuni. Air adalah zat yang memungkinkan adanya kehidupan di Bumi. Kehidupan di Bumi dimulai dalam air dan berevolusi di sana selama 3 miliar tahun sebelum menyebar ke darat. Kehidupan modern, bahkan organisme terrestrial tetap terikat dengan air. Organisme sebagian besar tersusun dari air dengan sekitar 70-95% dari sel terdiri dari air dan sebagian besar sel dikelilingi oleh air. Molekul air berperan dalam banyak reaksi kimia yang penting untuk mempertahankan kehidupan (Reece dkk., 2010). Dengan mengisi sebagian besar dari sel, air menjadi tempat berlangsungnya transpor nutrient, reaksi-reaksi enzimatis metabolism, sel dan transfer energi kimia. Oleh karena itu, semua aspek struktur dan fungsi sel harus beradaptasi dengan sifat-sifat fisika dan kimia air (Lehninger, 2000).
Kemampuan
air untuk menyokong sistem kehidupan diakibatkan oleh struktur molekul air yang
memungkinkan air berinteraksi dengan molekul-molekul lain, termasuk molekul air
lain. Molekul air terdiri dari dua atom hidrogen yang digabungkan ke satu atom
oksigen dengan ikatan kovalen tunggal (Reece dkk., 2010). Setiap kedua atom hidrogen
memakai bersama sepasang elektron dengan atom oksigen. Geometri dari pasangan elektron
yang digunakan bersama ini menyebabkan molekul berbentuk huruf V (Lehninger,
2000).
Ikatan
hidrogen hanya memiliki 1/20 dari kekuatan ikatan kovalen ketika berada dalam
fase cair (Reece dkk., 2010) atau hanya sekitar 4,5 kkal/mol, dibandingkan
dengan 110 kkal/mol bagi ikatan kovalen H-O pada molekul air. Namun walaupun
demikian, ikatan ini memberi gaya kohesi yang tinggi bagi air karena jumlahnya
yang banyak (Lehninger, 2000) dan juga karena molekul-molekul air terus menerus
membentuk ikatan hidrogen baru dengan molekul lain. Hal ini diakibatkan karena
ikatan ini terbentuk, putus, dan terbentuk kembali dengan frekuensi tinggi.
Bahkan sebagian besar bertahan hanya beberapa per triliunan detik (Reece dkk.,
2010) atau waktu paruh masing-masing ikatan lebih kecil dari 1 x 10-9
detik (Lehninger, 2000).
Dengan
susunan molekul yang terus berubah akibat ikatan hidrogen yang senantiasa
terbentuk dan terputus, akibatnya banyak molekul air yang bertautan satu sama
lain. Tautan yang diciptakan oleh ikatan hidrogen membuat air menjadi lebih
terstruktur. Sehingga secara kolektif ikatan hidrogen berperan untuk
mempertahankan keutuhan air—peristiwa ini disebut kohesi. Selain itu air juga
memiliki sifat adhesi, yaitu cenderung melekat ke zat lain. Fenomena yang
mencerminkan kedua sifat ini adalah proses pengangkutan air dari akar mencapai
daun melalui pembuluh angkut pada tumbuhan. Ketika air menguap, sifat kohesi
air mengakibatkan molekul air yang meninggalkan vena menarik molekul air lain
yang letaknya lebih ke bawah. Tarikan ke atas ini diteruskan melalui sel
pengangkut air sampai ke bagian akar. Dalam melawan tarikan gravitasi ketika
air diangkut ke atas, adhesi antara air dengan dinding sel pembuluh angkut
berperan (Reece dkk., 2010)
Sifat
lain dari air yang juga terjadi akibat ikatan hidrogen adalah rendahnya
kerapatan air saat berwujud padatan daripada saat berwujud cairan. Ketika
materi lain mengerut saat memadat, air justru mengembang. Hal ini menyebabkan
es dapat mengambang di atas air yang cair.
Pada
suhu di atas 4oC, air sama seperti cairan lainnya: memuai ketika
mengalami peningkatan suhu dan mengerut ketika mengalami penurunan suhu. Bekunya
air terjadi karena molekul-molekulnya tidak cukup gesit lagi untuk memutus
ikatan hidrogen. Ketika suhu turun hingga mencapai 0oC, air akan berikatan
dengan empat molekul air lain dan menciptakan kisi (Lehninger, 2000) yang
merupakan kisi kristalin yang akan mengunci molekul air tersebut. Ikatan hidrogen
akan menjaga molekul-molekul air yang terkunci tetap pada jarak lengan yang cukup jauh terpisah sehingga densitas atau
kerapatan es menjadi 10% lebih rendah (terdapat 10% molekul lebih sedikit pada volume
yang sama) daripada air yang berwujud cairan pada suhu 4oC. Ketika
es menyerap panas yang cukup sehingga suhunya naik di atas 0oC,
ikatan hidrogen di antara molekul-molekul terganggu. Ketika Kristal runtuh, es
akan mencair, dan molekul-molekul menjadi bebas untuk saling mendekat. Air akan
mencapai densitas tertingginya pada suhu 4oC dan kemudian mulai
memuai ketika molekul-molekul bergerak lebih cepat.
Kemampuan
es untuk mengambang di atas air yang berbentuk cairan karena perbedaan densitas
ini membantu menjaga kecocokan lingkungan bagi organisme yang hidup di badan
air pada daerah bersuhu rendah. Ketika badan air yang dalam mendingin, es yang
mengambang akan menginsulasi air berwujud cair yang ada di bawahnya sehingga
tidak membeku dan organismee hidup tetap dapat ada di bawah permukaan yang
membeku (Reece dkk., 2010). Namun, bagaimana dengan organisme yang hidup di
atas permukaan yang membeku?
Organisme
homoioterm yang dapat mengatur suhu tubuhnya tanpa terpengaruh suhu lingkungan
tentu memiliki mekanisme tersendiri untuk menjaga tubuh mereka tidak membeku di
suhu ekstrim, sebagai contoh di Alaska yang bisa mencapai -20oC pada
musim dingin selama 6 bulan (Barnes et al.,
1996; Sformo et al., 2010 dalam
Larson et al., 2014), misalnya dengan
mekanisme hibernasi pada beruang kutub yang juga dibantu dengan insulasi panas tubuh
dengan bulunya yang tebal. Namun keadaan tidak lebih baik bagi organisme
poikiloterm yang suhu tubuhnya mengikuti suhu lingkungan, seperti katak atau
serangga yang bahkan tidak memiliki mekanisme yang memadai untuk menginsulasi
panas tubuh mereka.
Sebagaimana semua organisme lain di
Bumi, air juga menyusun sebagian besar tubuh dan berperan dalam berbagai
mekanisme biologis organisme poikiloterm. Walaupun Lehninger (2000) menyatakan
bahwa zat terlarut pada sistem air tubuh dapat berperan menurunkan titik beku
dari sistem air dalam tubuh, suhu lingkungan yang ekstrim hingga jauh di bawah
titik beku air dapat menjadi kondisi yang berbahaya apabila air yang terkandung
di dalam tubuh mereka mengalami pembekuan dan membentuk Kristal yang secara
struktural dapat membahayakan mekanisme dalam sel (Fuller, 2004).
Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Constanzo et
al (2015) dan Larson et al (2014)
tentang mekanisme katak pohon Alaska (Rana
sylvaticus) dalam menghadapi suhu ekstrim di musim dingin yang panjang di
Alaska yaitu dengan mengubur diri ke dalam tanah (Larson et al., 2014). Untuk menjaga sistem air di tubuh mereka tidak
membeku, terdapat mekanisme tersendiri bagi katak tersebut untuk mencegah
terjadinya pembekuan pada sistem air di tubuh mereka adalah dengan menginduksi
zat anti-beku alami yang disebut cryoprotectant
untuk menggantikan posisi air dalam tubuh. Cryoprotectant yang umum ditemukan adalah glukosa yang dihasilkan
dari pemecahan glikogen hati secara besar-besaran menjelang musim dingin
(Constanzo et al., 2015; Larson et al., 2014) AFGL (Anti-Freeze Glycolipid) yang juga ditemukan pada kumbang Alaska, Upis
ceramboides (Walters et al., 2009 dalam Larson et al., 2014), sejenis terong Solanum dulcamara dan katak Eropa, Rana lessonae (Walters
et al., 2011 dalam Larson et al.,
2014). Kebanyakan dari AFGL tersebut berada di membrane sel dan bekerja dengan
mencegah pembentukan es di dalam sel dan menghentikan pertumbuhan es
ekstraseluler yang menyeberangi membrane sel menuju sitoplasma. AFGL pada Rana lessonae juga menghambat
kemungkinan dari terbentuknya kembali Kristal es pada cairan ekstraselular
(Larson et al., 2014).
Saat
katak mulai membeku, glikogen di hati
segera dipecah menjadi glukosa dan diedarkan ke seluruh tubuh sebagai cryoprotectant, yang mana pada konsentrasi
tinggi dapat menghambat aktivitas metabolism. Glukosa akan melindungi sel dari
pembekuan, salah satu contohnya dengan melindungi agar eritrosit di dalam tubuh
tidak ikut membeku selama suhu lingkungan menurun drastic (Constanzo et al., 1991). Mekanisme perlindungan
yang ditawarkan oleh cryoprotectant adalah
dengan menghambat pembentukan Kristal es. Interaksi pertukaran antara air dan cryoprotectant terjadi akibat adanya
perubahan osmotik. Cryoprotectant yang
memiliki viskositas yang lebih tinggi dari air akan masuk ke dalam sel
menghambat pembentukan Kristal es saat air masih dalam masa transisi antara
wujud cair ke padat dengan kondisi amorf di mana orientasi molekul yang
terlarut belum berubah (Fuller, 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Edashige et al (2007) pada embrio
tikus, diketahui bahwa proses pertukaran cairan sel dari air menjadi cryoprotectant seperti gliserol dan
glukosa dilakukan dengan mekanisme difusi sederhana pada tahap embrionik lalu
akibat adanya perubahan permeabilitas sel, terjadi dengan difusi terfasilitasi
dengan saluran Aquaporin 3. Air yang dikeluarkan dari sel ini kemudian akan
membeku bersama kantung limfa, ruang subdermal, dan coelom (Constanza et al.,
2015)
Selain
itu, cryoprotectant lain yang lazim
digunakan adalah gliserol. Hal ini dikarenakan kemampuan gliserol yang dapat
mudah berinteraksi dengan ikatan hidrogen pada air dan dapat menembus membrane
plasma dari berbagai jenis sel yang berbeda dan memiliki toksisitas yang rendah
bila diinduksikan ke dalam sel. Sifat gliserol yang mengalami peningkatan
viskositas seiring menurunnya temperatur suhu menjadi kunci dari peran
pentingnya dalam menghambat pembentukan Kristal es pada sel. Selain gliserol,
beberapa asam amino seperti alanin, glisin, dan prolin; serta beberapa kelompok
gula seperti laktosa dan ribose; serta kelompok amida seperti asetamida dan
formamida juga dapat digunakan sebagai cryoprotectant,
namun efisiensinya tidak sebaik gliserol. Pada beberapa jenis ikan yang hidup pada
kondisi ekstrim, cryoprotectant yang
digunakan adalah AFP atau anti-freezing
protein yang dapat menurunkan titik beku air namun tidak mengubah titik
lelehnya dan bekerja dengan cara mengadsorpsi permukaan Kristal es yang
terbentuk. Mekanisme ini juga dapat mencegah proses re-kristalisasi (Fuller,
2004).
Mekanisme
cryoprotectant dalam mencegah
terjadinya pembekuan sistem air pada tubuh organisme tanpa mekanisme insulasi
suhu selama hibernasi ini telah menginspirasi tercetusnya teknologi cryopreservation. Teknologi ini umumnya
diterapkan di dunia medis, khususnya pada organ-organ yang akan didonorkan
seperti ginjal. Untuk menjaga organ tersebut agar tetap dapat berfungsi
walaupun telah mengalami penyimpanan, dilakukan cryopreservation. Tekniknya mirip dengan mekanisme cryoprotectant dalam mencegah pembekuan
sistem air pada tubuh. Perbedaannya terletak pada cryoprotectant yang digunakan, yaitu cryoprotectant anorganik yang tidak dihasilkan oleh organ itu
sendiri, melainkan diintroduksikan untuk utamanya menggantikan peran darah.
Selain itu dikembangkan juga teknologi cryoconservation
dimana gen dari berbagai organisme diawetkan dengan temperatur rendah. Lebih jauh lagi, dikembangkan teknologi cryonic yang controversial, dimana jasad manusia utuh yang belum mengalami
kematian otak dibekukan untuk selanjutnya dihidupkan
kembali di masa mendatang. Prinsip yang digunakan sama, memanfaatkan jeda dari fungsi sel dengan adanya
penurunan suhu. Sehingga diharapkan, ketika mereka dihidupkan kembali, sistem organ dan sel yang sempat dijeda itu
dapat berfungsi kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Constanzo, Jon
P., Alice MR, M. Clara F., do Amaral, Andrew J.R., and Richard E.L. Jr. 2015.
Cryoprotectants and Extreme Freeze Tolerance in Subarctic Population of the
Wood Frog. PLOS ONE. DOI:
10/1371/journal.pone.0117234 .page: 1-23
Constanzo, Jon
P., Richard E. Lee Jr., and Michael F. Wright. 1991. Glucose Loading Prevents
Freezing Injury in Rapidly Cooled Wooden Frogs. The American Journal of Physiology. DOI:https://doi.org/10.1152/ajpregu.1991.261.6.R1549 page:
R1549-R1553
Edoshige,
Keisuke., Satoshi Ohta, Mitsunobu Tanaka, Tatsunaga Kuwano, Delgado M.V. Jr.,
Takao Hara, Bo Jin, Sei-ichi Takahashi, Shinsuke Seki, Chihiro Koshimoto, and
Magosaburo Kasai. 2007. The Role of Aquaporin 3 in the Movement of Water and
Cryoprotectants in Mouse Morulae. Biology
of Reproduction. DOI: 101.1095/biolreprod.106.059261. page: 363-375
Fuller, Barry J.
2004. Cryoprotectants: The Essential Antifreezes to Protect Life in the Frozen
State. Cryo letters 25(6). Royal
Veterinary College. London. Page: 375-388
Larson, Don J., Luke
Middle, Henry Vu, Wenhui Zhang, Anthony S.S., John Duman, and Brian M.B. 2014.
Wood Frog Adaptations to Overwintering in Alaska: New Limits to Freezing
Tolerance. Journal of Experimental
Biology. DOI: 10.1242/jeb.101931. page
2193-2200
Lehninger. 2000.
Dasar-dasar Biokimia. Penerbit
Erlangga. Jakarta. hal 77-83
Reece, Jane B.,
Lisa A. Urry, Michael L. Cain, Steven A. Wasserman, Peter V. Minorsky, dan
Robert B. Jackson. 2010. Biologi.
Penerbit Erlangga. Jakarta. hal. 50-55
Komentar
Posting Komentar
Thanks for reading! Waiting for your response